Ketua Umum PAL Indonesia Kecam Pernyataan Menteri Desa Soal “Wartawan Bodrex”
SEMARANG [Berlianmedia] – Ketua Umum DPP Persatuan Aktivis LSM Indonesia (PAL Indonesia) juga Ketua FJG jateng, Kyai Achmad Robani Albar, SH., MH., mengecam pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Yandri Susanto, S.Pt., M.Pd., yang menyebut istilah “wartawan Bodrex” dalam sebuah acara yang videonya viral di media sosial. Pernyataan tersebut menuai protes keras dari kalangan aktivis LSM dan insan pers yang merasa direndahkan oleh ungkapan tersebut.
Istilah “wartawan Bodrex” yang digunakan Yandri merujuk pada wartawan yang dianggap memberitakan sesuatu tanpa dasar yang kuat, yang menurutnya menyebabkan “sakit kepala” bagi pihak-pihak tertentu. Namun, pernyataan tersebut dinilai banyak pihak sebagai bentuk pelecehan terhadap profesi jurnalis dan aktivis, yang memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam tanggapannya, Robani menyayangkan pernyataan tersebut dan menegaskan bahwa jurnalis dan aktivis LSM adalah pilar penting demokrasi. “Istilah seperti itu menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap kerja keras para jurnalis dan aktivis di lapangan. Mereka bertugas dengan penuh dedikasi untuk menyampaikan kebenaran dan memperjuangkan kepentingan masyarakat,” ujar Robani.
Robani juga mengakui bahwa mungkin ada segelintir oknum yang tidak menjalankan tugasnya secara profesional, namun hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk merendahkan seluruh profesi. “Kalau ada satu-dua oknum yang menyimpang, bukan berarti semua LSM atau wartawan bisa dicap negatif. Dari seribu LSM yang baik, mungkin ada satu yang ‘Bodrex’. Tapi mayoritas dari kami bekerja dengan idealisme dan integritas tinggi,” tegasnya.
Ketua PAL Indonesia tersebut juga mengajak para aktivis LSM untuk tetap semangat dalam menjalankan tugas mereka meskipun menghadapi stigma negatif. “Kami berharap teman-teman aktivis LSM tetap bergerak, walau ada tantangan. Kami bekerja secara sukarela untuk masyarakat tanpa mengharapkan imbalan. Jangan biarkan stigma seperti ini mematahkan semangat kita,” tambahnya.
Lebih lanjut, Robani menyindir para pejabat yang merasa terganggu dengan keberadaan LSM dan media. Ia menegaskan bahwa jika pejabat bekerja dengan jujur dan transparan, tidak akan ada masalah dengan pengawasan dari LSM atau pemberitaan media. “Kalau pejabatnya tidak melakukan pelanggaran, istilah seperti ‘Bodrex’ atau ‘86’ tidak akan muncul. Kami ada justru untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas,” pungkas Robani.
Kontroversi ini menjadi pengingat pentingnya hubungan yang sehat dan saling menghormati antara pemerintah, aktivis LSM, dan media. Diharapkan semua pihak dapat menjaga komunikasi yang baik dan bekerja sama demi kepentingan masyarakat luas, bukan saling menjatuhkan dengan stigma yang merugikan profesi-profesi yang berperan penting dalam menjaga demokrasi.