Teori Pohon Kecurangan dan Analisis Spekulasi Putusan MK dalam Kasus Pilkada Jawa Timur 2024

SEMARANG[Berlianmedia] – Mahkamah Konstitusi (MK) memulai sidang perdana perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah ( PHPU) 2024. Per Selasa, 07 Januari 2025, tercatat ada total 310 perkara yang akan disidangkan oleh MK dimulai pada Rabu, 08 Januari 2025. Menurut data dari Tempo Sebanyak 23 di antaranya merupakan sengketa PHPU Gubernur dan Wakil Gubernur. PHPU wali kota dan wakil wali kota sebanyak 49 perkara, dan 238 perkara lainnya merupakan perkara PHPU Bupati dan Wakil Bupati, yang disampaikan oleh Kepala Biro Humas dan Protokol Mahkamah Konstitusi Pan Mohamad Faiz pada Selasa, 7 Januari 2025.

Pasangan calon (Paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur Nomor urut 03, Tri Rismaharini – Zahrul Azhar Asumta melakukan persidangan perdana pada 08 Januari 2025, adapun Panel II terdiri atas Saldi Isra sebagai ketua Panel, didampingi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani sebagai anggota panel, Sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap perkara nomor 265/PHPU.GUB-XXII/2025 yang diajukan oleh Risma – Gus Hans yang diwakili oleh tim kuasa hukum Ronny Berty Talapessy, Tri Wiyono Susilo, Alvon Kurnia Palma, dkk.

Dalil Gugatan dan Petitum Pemohon

Pertama Pemanfaatan DPT Secara Tidak Wajar di TPS-TPS Tertentu Temuan menunjukkan bahwa di 2.780 TPS, terjadi penggunaan Daftar Pemilih Tetap (DPT) hingga 90–100%, yang secara statistik tidak wajar. Indikasi terbesar ditemukan di Sampang, Pamekasan, dan Bangkalan. Bahkan, penggunaan DPT 100% terjadi di seluruh TPS di 13 desa di Sampang dan 2 desa di Pamekasan. Praktik ini menciptakan kondisi di mana Paslon 02 memperoleh keunggulan signifikan atas Paslon 03. Fenomena ini menunjukkan adanya dugaan manipulasi daftar pemilih untuk mengarahkan hasil pemungutan suara secara sistematis.

Dua Ketimpangan Perolehan Suara Paslon 03 Di 3.900 TPS lainnya, ditemukan indikasi ketimpangan perolehan suara di mana Paslon 03 hanya memperoleh 0–30 suara per TPS, bahkan beberapa TPS mencatatkan 0 suara. Ketimpangan terbesar terjadi di Sumenep, Sampang, dan Bondowoso. Hal ini mengindikasikan adanya upaya pengerdilan perolehan suara Paslon 03 melalui mekanisme yang tidak sesuai aturan. Ketidakseimbangan ini memunculkan kecurigaan bahwa hasil pemilu di wilayah tersebut telah diatur sedemikian rupa.

Tiga Perbedaan Jumlah Pemilih Pilgub dan Pilbup/Pilwali Anomali lainnya adalah perbedaan jumlah pemilih Pilgub dan Pilbup/Pilwali di 179 TPS, di mana jumlah pemilih Pilgub lebih besar dari Pilbup/Pilwali dengan selisih melebihi Daftar Pemilih Tambahan (DPTB). Kota Madiun, Situbondo, dan Kota Kediri menjadi wilayah dengan persentase anomali tertinggi. Temuan ini menegaskan adanya pelanggaran administratif yang signifikan, mengingat jumlah pemilih seharusnya konsisten di semua jenis pemilihan.

Empat Manipulasi dalam Proses Rekapitulasi Proses rekapitulasi suara dari Form C1 (TPS) ke Form D (Kecamatan) juga menunjukkan adanya pengalihan suara yang menguntungkan Paslon 02. Selain itu, terdapat pengiriman gambar C1 susulan yang berbeda dari dokumen asli, menunjukkan adanya upaya untuk memanipulasi hasil rekapitulasi secara langsung. Praktik semacam ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip transparansi dalam pemilu.

Lima Anomali Suara Tidak Sah Suara tidak sah mencatatkan angka anomali sebesar 5,5% dari total pemilih atau sekitar 1,2 juta suara. Anomali ini kembali memberikan keuntungan bagi Paslon 02. Dengan skala sebesar ini, suara tidak sah patut dicurigai sebagai bagian dari strategi sistematis untuk mengeliminasi suara yang tidak mendukung Paslon tertentu.

Enam Manipulasi Formulir C1 Manipulasi C1 menjadi temuan yang paling mencolok, dengan berbagai metode seperti:

  1. Penghapusan angka perolehan Paslon 01 dan Paslon 03 menggunakan TipEx, sehingga keduanya bernilai nol sementara Paslon 02 memperoleh angka signifikan.
  2. Penghapusan tanda saksi, sehingga dokumen kehilangan legitimasi.
  3. Pencoretan angka perolehan Paslon 03 untuk menggelembungkan angka Paslon 02.

Tujuh Hal tersebut ditambah dengan penyaluran bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH)  sejumlah 1.467.753 keluarga yang diduga memiliki dampak suara sejumlah 3.559.409 suara.

Hal tersebut ditambah dengan penyaluran bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH)  sejumlah 1.467.753 keluarga yang diduga memiliki dampak suara sejumlah 3.559.409 suara. Dengan anomali partisipasi pemilih 90-100 persen memiliki dampak suara sejumlah 743.784 suara. Pemindahan suara dari Paslon 3 kepada Paslon 2 sejumlah 837.361 suara. Anomali suara tidak sah sejumlah 1.204.610 suara jika digabungkan sejumlah 6.341.164 suara.

Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Timur Nomor: 63 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jawa Timur Tahun 2024 ditetapkan di Surabaya pada tanggal 9 Desember 2024 pukul 21.30 WIB. Pemohon juga memohon kepada Mahkamah agar mendiskualifikasi Khofifah-Emil karena telah melakukan pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pilgub Jawa Timur pada tahun 2024

Analisis Berdasarkan Teori Pohon Pada Dalil Pemohon

Pemilihan umum merupakan elemen vital dalam demokrasi, di mana suara rakyat menjadi tolok ukur utama legitimasi pemerintahan. Namun, praktik kecurangan dalam Pilkada dapat merusak esensi demokrasi tersebut, menciptakan ketidakpercayaan, dan menciptakan distorsi yang berkelanjutan. Untuk memahami kompleksitas kecurangan yang terjadi dalam proses pilkada Jawa Timur 2024, pendekatan yang sistematis seperti Teori Pohon Kecurangan dapat digunakan. Teori ini membantu menjelaskan bagaimana berbagai bentuk kecurangan berinteraksi satu sama lain, membentuk jaringan yang kompleks dan berkelanjutan.

Teori Pohon Kecurangan ini sendiri pertama kali dikembangkan oleh Maurice Duverger, dalam bukunya “Political Parties: Their Organization and Activity in the Modern State” (1951) yang mengamati bahwa kecurangan dalam pilkada sering kali memiliki efek domino, di mana setiap tindakan manipulatif menciptakan ruang bagi praktik kecurangan lainnya untuk berkembang lebih lanjut. Teori ini menggambarkan bahwa akar dari pohon kecurangan adalah praktik yang paling mendasar dan sederhana, yang kemudian bercabang menjadi berbagai bentuk manipulasi yang lebih kompleks. Setiap cabang menciptakan dampak yang semakin luas, mulai dari ketidakadilan hingga merusak integritas pemilu secara keseluruhan.

Akar: Manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT)

Akar dari pohon kecurangan dalam pemilu adalah manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2024, penggunaan DPT yang tidak wajar di sejumlah TPS dengan angka mencapai hingga 90-100% menunjukkan indikasi kuat akan adanya praktik manipulatif. Pasangan calon (Paslon) 02 memperoleh keunggulan signifikan akibat penggunaan DPT yang dipaksakan secara sistematis. Tanpa pengawasan yang ketat, akar ini menciptakan lingkungan di mana manipulasi suara menjadi dasar bagi praktik kecurangan yang lebih kompleks.

Cabang: Ketimpangan Perolehan Suara dan Manipulasi Rekapitulasi

Cabang pertama yang muncul dari manipulasi DPT adalah ketimpangan perolehan suara. Di sejumlah TPS, Paslon 03 hanya memperoleh sedikit hingga nol suara, sementara Paslon 02 meraih angka signifikan. Hal ini menunjukkan adanya strategi untuk membatasi suara dari Paslon lain dengan cara-cara manipulatif. Selain itu, proses rekapitulasi suara dari Form C1 ke Form D menunjukkan praktik penghapusan atau penyimpangan data yang memperbesar perolehan suara bagi Paslon tertentu. Cabang ini menciptakan ketidakadilan yang mencolok, yang semakin memperburuk hasil pemilu.

Dahan: Anomali Suara Tidak Sah dan Distribusi Bantuan Sosial

Dari cabang-cabang ketimpangan ini, muncul dahan-dahan baru seperti anomali suara tidak sah dan distribusi bantuan sosial sebagai alat politik. Anomali suara tidak sah yang mencapai 1,2 juta suara menjadi salah satu dahan utama, yang menciptakan distorsi besar dalam hasil pemilu. Selain itu, distribusi bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) yang dilakukan secara masif dengan dugaan dampak suara hingga 3,5 juta suara semakin memperbesar praktik kecurangan. Dahan ini menunjukkan bagaimana jaringan kecurangan semakin berkembang dan sulit untuk diatasi.

Daun: Dampak dan Legitimasi Hasil Pilkada

Daun dari pohon kecurangan mencakup dampak langsung dari berbagai praktik manipulasi yang telah berkembang. Ketidakpercayaan publik terhadap hasil pilkada, distorsi legitimasi, dan ketidakadilan proses demokrasi menjadi daun yang mencolok. Hasil pemilu yang penuh dengan manipulasi menciptakan ancaman serius terhadap demokrasi, yang sulit untuk diselesaikan tanpa tindakan tegas dari lembaga pengawas pemilu maupun pihak hukum.

Dalam Teori Pohon Kecurangan yang dikembangkan oleh Maurice Duverger memberikan kerangka yang sangat berguna untuk memahami kompleksitas praktik kecurangan dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2024. Manipulasi DPT menjadi akar utama yang menciptakan berbagai cabang seperti ketimpangan perolehan suara dan manipulasi rekapitulasi, yang kemudian memperluas dahan-dahan kecurangan lain seperti suara tidak sah dan penggunaan bantuan sosial secara politis. Akibatnya, hasil Pilkada yang penuh dengan manipulasi menciptakan dampak kumulatif yang merusak integritas demokrasi. Upaya untuk menghentikan pohon kecurangan ini memerlukan tindakan yang serius dan terkoordinasi dari seluruh elemen yang terlibat dalam proses pilkada.

Teropong Putusan MK dalam Kasus Pilkada Jatim

Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk memutuskan sengketa hasil pemilu berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam konteks kecurangan sistematis yang terstruktur, MK harus mempertimbangkan bukti-bukti kuat yang menunjukkan adanya pelanggaran serius, seperti manipulasi DPT, ketimpangan perolehan suara, dan rekayasa hasil Pilkada.

Mengutip pendapat Feri Amsari Pakar Hukum Tata Negara, bahwa Paradigma Mahkamah Konstitusi sebagai sekedar Procedural Justice telah bergeser sejak tahun 2004 dengan menggunakan pendekatan Substantial Justice yang mempersoalkan Electoral Process di dalam putusan-putusannya. Mahkamah secara tagas menjustifikasi bahwa dirinya mempunyai kewenangan untuk mempersoalkan Judicial Process untuk memastikan kualitas bukan sekedar kuantitas pemilu dengan menyatakan secara substansi materi telah terjadi pelanggaran di Pemilukada yang dapat mempengaruhi secara langsung perolehan suara.

Membaca alur persoalan sengketa pilkada jatim sedari dalil gugatan dan serta mengunakan kerangka pikiran Maurice Duverger dengan teori Pohonnya akhirnya akan landing pada tahap paling penting yakni proses pembuktian, tentu tahap ini merupakan ujian terberat, apabila dari pihak pemohon mampu membuktikan secara sistematis, dan logis dihadapan hakim MK besar kemungkinan Hakim MK akan menggabulkan dalil pemohon dan akan melahirkan pokok-pokok permasalahan utama dalam pilkada yakni pada pihak penyelenggara pilkada. Tentu ini tidak mudah karena akan melibatkan KPU, Bawaslu, Gakumdu hingga DKP

Oleh : Bung Kafi

Penulis Alumni Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Aktivis NU, dan Juga Kader Partai PDI Perjuangan

                                                   

Mari Berbagi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *