Mengurai Akar Masalah Kelangkaan BBM di SPBU Swasta
SEMARANG[Berlianmedia] – Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di SPBU swasta belakangan ini bukan sekadar persoalan teknis distribusi. Fenomena ini menyingkap masalah lama yang tak kunjung dibereskan: tata kelola energi yang timpang dan monopolistik. Masyarakat kembali harus antre panjang, sementara pemerintah dan pemain besar seolah lepas tangan.
Pertanyaan mendasar muncul: mengapa SPBU swasta selalu jadi pihak yang paling rentan ketika terjadi gangguan pasokan? Jawabannya sederhana, karena mereka memang hanya mendapat “jatah sisa”. Selama ini, Pertamina memegang kendali penuh atas distribusi BBM, sementara SPBU swasta dibiarkan hidup segan mati tak mau. Alokasi pasokan kerap tidak merata, bahkan ada kesan pemerintah lebih sibuk menjaga citra Pertamina ketimbang menjamin ketersediaan BBM di semua lini.
Persoalan harga menambah pelik situasi. SPBU swasta kerap dipaksa bersaing dengan harga Pertamina yang disubsidi. Bagaimana mungkin mereka bisa bertahan, apalagi melayani masyarakat dengan optimal, jika akses ke BBM murah dibatasi? Akhirnya, mereka terjebak: menjual dengan harga lebih tinggi tapi dicap mahal, atau mengurangi stok dan dikecam karena kelangkaan. Ini bukan sekadar soal bisnis, tapi bentuk ketidakadilan regulasi.
Lebih parah lagi, minimnya transparansi distribusi membuka ruang dugaan adanya permainan pasar. Bukan rahasia umum, distribusi BBM seringkali diperlambat atau dialihkan demi kepentingan tertentu. Jika benar ada praktik semacam ini, maka masyarakat jelas menjadi korban, sementara segelintir pihak diuntungkan. Ironis, di tengah jargon “kedaulatan energi”, justru rakyat kecil harus berjibaku mencari bensin untuk motor dan mobil kerja mereka.
Yang patut dikritisi adalah sikap pemerintah. Bukannya membangun sistem energi yang inklusif dan kompetitif, justru membiarkan ketergantungan pada satu pemain besar terus berlanjut. SPBU swasta hanya dijadikan pelengkap penderita, padahal mereka bisa berperan penting dalam memperluas akses energi di daerah-daerah. Kebijakan setengah hati seperti ini hanya akan memperlebar ketidakadilan.
Dampaknya sudah terasa. Usaha kecil terhambat, ongkos logistik naik, dan keresahan publik meningkat. Masalah ini bukan sekadar antrean di SPBU, melainkan sinyal adanya keretakan serius dalam manajemen energi nasional. Jika hal ini terus dibiarkan, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam urusan energi bisa runtuh.
Solusi yang ditawarkan tidak bisa lagi sekadar tambal sulam. Pemerintah harus berani melakukan tiga langkah konkret. Pertama, membuka akses distribusi yang adil bagi SPBU swasta agar mereka tidak lagi bergantung pada alokasi sisa. Kedua, menciptakan mekanisme transparansi distribusi melalui sistem digital yang bisa dipantau publik, sehingga permainan pasar bisa dicegah. Ketiga, mempercepat diversifikasi energi, termasuk memacu pemanfaatan energi terbarukan, agar ketergantungan pada BBM tidak terus menjadi sumber keresahan.
Mengurai akar masalah kelangkaan BBM di SPBU swasta berarti berani mengakui bahwa ada yang salah dalam sistem. Selama pemerintah masih berpihak pada kepentingan korporasi besar ketimbang rakyat, kelangkaan BBM akan terus menjadi drama tahunan. Sudah saatnya pemerintah menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan korporasi. Energi adalah hak rakyat, bukan komoditas yang boleh dikuasai segelintir pihak. (M.Taufiq)








