Kecukupan Hanya Dengan Rahmat Allah

SEMARANG [Berlianmedia] – Setiap manusia sering kali terjebak dalam kegelisahan tentang rezeki. Kekhawatiran apakah uang akan cukup, apakah kebutuhan esok terpenuhi, atau apakah masa depan aman, sering menggerogoti hati. Padahal, Allah telah menjamin rezeki setiap hamba-Nya. Tugas manusia hanyalah berusaha dengan sungguh-sungguh, menjaga tawakal, dan percaya sepenuhnya pada ketentuan Allah SWT.

Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah ﷺ bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki: ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi, Ahmad)

Hadis ini menjadi penjelasan nyata bahwa rezeki bukanlah hasil dari kecemasan atau lamunan panjang, melainkan buah dari usaha yang diiringi tawakal. Burung tidak berdiam diri dalam sarang menunggu makanan datang, tetapi keluar, terbang, dan mencari. Ia tidak tahu persis di mana rezekinya berada, namun keyakinannya teguh bahwa Allah akan memberinya kecukupan.

Syaikh Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi menjelaskan bahwa inti tawakal adalah menggabungkan usaha dengan hati yang penuh kepercayaan pada Allah. Burung menjadi teladan indah: pertama, ia berusaha keluar dari sarang; kedua, ia tidak larut dalam stres di sangkar memikirkan nasib; ketiga, ia optimis dengan jaminan rezeki dari Allah.

Allah SWT berfirman:

﴿وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا • وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَـٰلِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا﴾
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sungguh Allah telah menjadikan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)

Ayat ini menegaskan bahwa kecukupan sejati tidak terletak pada banyaknya harta, tetapi pada keberkahan yang Allah berikan. Betapa banyak orang berharta banyak namun hatinya gelisah, dan betapa banyak orang yang sederhana namun hidupnya tenteram karena Allah melimpahkan ketenangan padanya.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kekayaan bukanlah karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hati yang kaya adalah hati yang ridha dan yakin kepada Allah. Inilah makna kecukupan yang hakiki.

Kita sering salah memahami tawakal. Ada yang menganggap tawakal berarti pasrah tanpa usaha, padahal itu salah. Tawakal bukan meninggalkan ikhtiar, melainkan menyeimbangkan usaha dengan keyakinan penuh pada Allah. Imam Ahmad pernah berkata, “Orang yang duduk di rumah atau di masjid lalu berkata, ‘Aku tidak akan bekerja, aku bertawakal kepada Allah,’ maka ia tidak memahami hakikat tawakal.”

Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat bagaimana manusia bisa jatuh dalam stres dan depresi karena terlalu memikirkan rezeki. Padahal, jika ia mau bergerak meski dengan peluang kecil, itu lebih baik daripada hanya diam menunggu. Satu langkah usaha yang ikhlas diiringi doa bisa menjadi sebab datangnya pintu rezeki yang tak terduga.

Allah SWT mengingatkan:

﴿وَفِي ٱلسَّمَآءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ﴾
“Dan di langit terdapat rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS. Adz-Dzariyat: 22)

Artinya, rezeki telah Allah tetapkan, dan manusia tinggal menjemputnya dengan usaha serta doa. Tidak perlu larut dalam kecemasan, karena Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya.

Tawakal sejati melahirkan jiwa yang tenang. Orang yang tawakal tidak mudah putus asa meski gagal, karena ia tahu bahwa rezeki bukan hanya uang atau makanan, tetapi juga kesehatan, keluarga yang harmonis, iman yang terjaga, dan hati yang tenang. Semua itu adalah bentuk rezeki yang lebih berharga dari sekadar materi.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barang siapa di pagi hari merasa aman pada keluarganya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah terkumpul untuknya.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini meneguhkan bahwa kecukupan tidak harus menanti kekayaan melimpah. Asalkan ada rasa aman, sehat, dan makanan untuk sehari, itu sudah cukup sebagai nikmat besar.

Maka, jangan terjebak dalam pikiran bahwa uang adalah segalanya. Uang bisa habis, uang bisa hilang, bahkan uang bisa menjerumuskan. Tetapi rahmat Allah, keberkahan rezeki, dan kecukupan hati adalah sesuatu yang jauh lebih abadi.

Hidup ini bukan tentang berapa banyak kita memiliki, tetapi bagaimana hati kita bersyukur atas apa yang ada. Dengan syukur, Allah akan menambah nikmat-Nya. Firman Allah SWT:

﴿لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ﴾
“Jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

Maka langkah terbaik adalah berusaha semampu kita, tidak menunggu sempurna untuk bergerak, dan senantiasa bertawakal. Rezeki bukan semata dari jerih payah, tetapi dari rahmat Allah yang tak terbatas.

Semoga Allah menjadikan kita hamba yang pandai berusaha, hati yang ridha, dan jiwa yang penuh tawakal, sehingga hidup kita selalu cukup dengan rahmat-Nya meski dunia belum tentu cukup dengan harta.

Mari Berbagi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *