Amalnya Selaras dengan Ilmunya
SEMARANG [Berlianmedia] – Salah satu tanda keindahan iman adalah ketika amal seseorang benar-benar selaras dengan ilmunya. Ia tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga mengamalkan apa yang dipahami. Inilah buah dari tawadu, sikap merendah di hadapan Allah dan manusia, sehingga ia tak pernah merasa lebih baik dari orang lain. Justru ia selalu khawatir, jangan-jangan orang lain lebih mulia di sisi Allah dibanding dirinya.
Amal yang selaras dengan ilmu lahir dari hati yang tunduk, tidak dikuasai kesombongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dengan tegas,
«لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ»
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat debu.” (HR. Muslim no. 91).
Hadis ini menegaskan bahwa sombong adalah penyakit hati yang sangat berbahaya. Sombong bukanlah sekadar suka memakai pakaian indah atau alas kaki bagus, sebab Rasulullah menjelaskan,
«إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ»
“Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim).
Dari sini kita belajar bahwa tawadu bukan berarti berpenampilan lusuh, melainkan bagaimana hati tidak menolak kebenaran dan tidak meremehkan manusia. Orang yang tawadu akan memandang dirinya biasa saja, bahkan seringkali merasa lebih rendah dibanding orang lain.
Seorang ulama salaf, Abdullah Al-Muzani rahimahullah, memberikan nasihat yang sangat berharga. Ia berkata, jika engkau merasa lebih mulia dari orang lain, maka perhatikanlah: bila orang itu lebih tua, katakanlah, “Ia lebih dahulu beriman dan beramal shalih dariku.” Bila orang itu lebih muda, katakanlah, “Aku lebih dahulu bergelimang dosa darinya, sehingga ia lebih baik dariku.” Cara berpikir inilah yang menjaga seorang mukmin tetap rendah hati dan jauh dari kesombongan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan orang-orang yang tawadu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ»
“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan tidaklah seseorang bersifat tawadu karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim).
Betapa indah janji Allah. Ketika manusia melihat kerendahan hati sebagai kelemahan, justru Allah menjadikannya jalan untuk meninggikan derajat. Inilah rahasia besar kehidupan: kemuliaan bukan karena harta, jabatan, atau pujian manusia, melainkan karena sikap rendah hati di hadapan-Nya.
Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya sifat tawadu. Allah berfirman,
﴿وَعِبَادُ الرَّحْمَـٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَـٰهِلُونَ قَالُوا سَلَـٰمًا﴾
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al-Furqan: 63).
Ayat ini menggambarkan bahwa kerendahan hati bukan sekadar sikap batin, tetapi juga tercermin dalam tutur kata dan perilaku. Orang yang tawadu tidak membalas kebodohan dengan kemarahan, melainkan dengan kelembutan.
Keselarasan antara ilmu dan amal tampak nyata pada orang-orang yang memiliki sifat tawadu. Ilmu yang benar tidak membuat pemiliknya merasa tinggi hati, tetapi justru semakin sadar bahwa ilmu Allah jauh melampaui pengetahuan manusia. Semakin banyak seseorang belajar, semakin ia merasa kecil di hadapan Allah.
Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Orang yang mendalami ilmu tidak akan terlihat pada dirinya kesombongan, tidak pula mencari kemuliaan dunia. Tetapi ia tampak tawadu dan takut kepada Allah.” Inilah tanda bahwa ilmunya membawa cahaya iman, bukan hanya sekadar wawasan.
Dalam kehidupan sehari-hari, sikap tawadu bisa diwujudkan dengan hal-hal sederhana. Tidak meremehkan pekerjaan orang lain, tidak merasa diri paling benar, tidak sulit mengucapkan terima kasih, dan mudah meminta maaf ketika bersalah. Semua itu tampak kecil, tetapi sesungguhnya menjadi penentu besar di akhirat.
Sebaliknya, kesombongan seringkali muncul dalam bentuk yang halus. Merasa lebih pintar, merasa ibadahnya lebih baik, atau merasa status sosialnya lebih tinggi. Inilah jebakan iblis yang membuat amal seseorang kehilangan nilai. Seperti iblis yang menolak bersujud kepada Adam karena merasa lebih mulia, akhirnya ia terlaknat.
Maka, seorang mukmin sejati senantiasa waspada. Ia menjaga hati agar amal yang ia lakukan benar-benar ikhlas karena Allah, bukan karena ingin dipuji. Ia mengukur dirinya dengan neraca akhirat, bukan dengan pandangan manusia.
Jika amal selaras dengan ilmu, maka akan lahir keindahan akhlak. Inilah buah dari iman yang hidup, ilmu yang bermanfaat, dan hati yang tunduk. Allah akan meninggikan derajat hamba yang merendahkan dirinya, dan di akhirat kelak, ia akan mendapati kemuliaan yang sejati.








