Pojok Singosari: Jejak Dakwah, Denyut Ekonomi, dan Harmoni Kota
SEMARANG [Berlianmedia] – Di sebuah sudut Kota Semarang, tepatnya di Jl. Singosari Raya No. 33, berdiri tegak Gedung Dakwah Muhammadiyah Jawa Tengah. Bangunan ini bukan sekadar susunan beton dan baja, melainkan monumen sejarah dakwah. Dulu, tempat ini adalah rumah KH Roemani, seorang tokoh Nahdlatul Ulama yang visioner sekaligus bersahabat erat dengan Muhammadiyah. Dari rumah sederhana inilah lahir gagasan besar yang kemudian menjelma menjadi markas Muhammadiyah Jawa Tengah, sekaligus menjadi cikal bakal berdirinya RS Roemani PKU Muhammadiyah Semarang di Jl. Wonodri Baru Raya—amal usaha kesehatan yang kini menjadi kebanggaan warga persyarikatan dan masyarakat luas.
Sebelum berlokasi di Singosari Raya, Gedung Dakwah Muhammadiyah Kota Semarang pernah menempati Jl. Singosari Timur IA, yang kini menjadi bagian dari kompleks RS Roemani dan difungsikan sebagai kantor direksi. KH Roemani—tokoh NU yang mencintai Muhammadiyah—bahkan pernah menerima penghargaan pada Milad Muhammadiyah 1 Abad di Yogyakarta, berdampingan dengan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan peneliti Jepang, Koentjaraningrat Nakamura.
Waktu mengubah wajah Singosari Raya. Jika dahulu deretan rumah-toko milik warga keturunan Tionghoa mendominasi, kini kawasan ini menjelma menjadi koridor ekonomi baru. Restoran, kafe, hotel, minimarket modern seperti Alfamart dan Indomaret, hingga berbagai usaha lain berdiri berdampingan. Di tengah geliat tersebut, RS Roemani PKU Muhammadiyah tetap teguh melayani semua kalangan, tanpa memandang latar belakang. Tak jauh dari sana, berdiri Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) yang melahirkan kader pelaut bangsa.
Namun, Singosari bukan hanya soal gedung-gedung dan bisnis. Trotoarnya menyimpan denyut kehidupan kota: pedagang kaki lima yang mengais rezeki, tukang becak yang sabar menunggu penumpang, hingga tukang parkir yang menjaga kendaraan. Semua ini berpadu membentuk potret keseharian yang dinamis dan penuh interaksi sosial.
Di tengah arus modernisasi, Gedung Dakwah Muhammadiyah Jawa Tengah berdiri sebagai penanda penting. Ia bukan sekadar kantor, melainkan pusat ide, strategi dakwah, pembinaan kader, dan pelayanan umat. Keberadaannya menjadi pengingat bahwa pembangunan kota harus berjalan seiring dengan pembangunan akhlak.
Sejarah Singosari Raya memberi pelajaran berharga: perubahan fisik kota adalah keniscayaan, tetapi nilai-nilai kebaikan harus dijaga agar tidak larut dalam arus komersialisasi. Kehadiran Muhammadiyah di Singosari menjadi penyeimbang antara geliat ekonomi dengan kebutuhan spiritual dan sosial masyarakat.
Bahkan dalam peta sosial-politik kepemudaan Kota Semarang, nama Singosari punya makna simbolik. Dalam setiap pemilihan Ketua KNPI, Singosari dikenal sebagai “markas” Muhammadiyah, sementara Jl. Dr. Cipto identik dengan “markas” NU. Ketika kedua simbol ini bersatu, suasana KNPI menjadi teduh, harmonis, dan kondusif—membuktikan bahwa persatuan di atas perbedaan mampu melahirkan energi positif bagi umat dan bangsa.
Hikmah dari Pojok Singosari jelas: organisasi dakwah seperti Muhammadiyah dibutuhkan untuk memastikan kemajuan kota berjalan seiring dengan kemajuan akhlak. Kekuatan sejati terletak pada kolaborasi, bukan konfrontasi, serta komitmen menjadikan dakwah sebagai panduan hidup di tengah derasnya perubahan zaman.