Abangan Baru di Muhammadiyah: Antara Kepatuhan dan Pembangkangan

SEMARANG[Berlianmedia] – Di tengah dinamika dakwah, seorang mubaligh sejatinya memikul dua amanah besar. Pertama, sebagai basyîr, penyampai kabar gembira yang relatif ringan dan minim risiko. Kedua, sebagai nadzîr, pemberi peringatan atas pelanggaran ajaran Allah yang jauh lebih berat. Peran terakhir inilah yang kerap membuat para nabi berhadapan dengan ancaman, bahkan penolakan keras dari umatnya (QS. al-Baqarah/2:91). Karena itu, seorang mubaligh dituntut memiliki keikhlasan lillâhi ta‘âlâ dan keberanian untuk menyampaikan kebenaran, meski terasa pahit.

Dalam konteks dakwah Muhammadiyah, salah satu peringatan serius menyangkut perilaku merokok. Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menetapkan keharaman merokok melalui SK No. 6/SM/MTT/III/2010, dan keharaman vape melalui SK No. 01/PER/I.1/2020. Keputusan ini lahir dari kajian mendalam berbasis dalil nash, pertimbangan akal, serta fakta empiris. Namun, faktanya masih ada sebagian warga Muhammadiyah yang bersikap abai terhadap keputusan tersebut.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, pernah menyebut mereka sebagai “minoritas perokok” di tubuh persyarikatan. Fenomena ini menarik bila dibaca dalam perspektif pemikiran Munir Mulkan yang membagi tipologi warga Muhammadiyah menjadi empat: al-Ikhlas (puritan-fundamentalis), tipe KH Ahmad Dahlan (inklusif), Munu (Muhammadiyah–NU), dan Marmud (Marhaenisme Muhammadiyah, cenderung abangan agraris). Tipologi ini menggambarkan keragaman wajah Muhammadiyah yang tidak tunggal, melainkan majemuk.

Istilah abangan sendiri kini mengalami pergeseran makna. Tidak hanya menunjuk pada latar agraris atau tradisi sinkretis, tetapi lebih tepat dipahami sebagai sikap abâ’an (pembangkangan). Kata ini merujuk pada Al-Qur’an saat Iblis enggan sujud kepada Adam: abâ wastakbara wakâna minal kâfirîn (QS. al-Baqarah/2:34). Dengan demikian, warga Muhammadiyah yang tetap merokok meskipun keharamannya sudah jelas, dapat disebut sebagai “abangan baru”. Bukan karena tradisi atau latar budaya, melainkan karena sikap membangkang terhadap syariat dan keputusan tarjih.

Dalil yang melarang merokok juga sangat kuat. QS. al-Baqarah/2:195 menegaskan larangan menjerumuskan diri pada kebinasaan (tahlukah). QS. al-Isra’/17:157 menegaskan Allah hanya menghalalkan yang baik (thayyibât) dan mengharamkan yang buruk (khabâ’its). Rokok, secara medis terbukti merusak kesehatan perokok maupun orang di sekitarnya, jelas termasuk kategori khabâ’its. Maka keharaman merokok memiliki legitimasi bayânî (dalil tekstual), burhânî (rasional-empiris), dan ‘irfânî (ketaatan penuh iman).

Implikasinya, warga Muhammadiyah yang merokok bukan sekadar melawan keputusan tarjih, tetapi juga menolak larangan Allah. Lebih jauh, pembangkangan ini mengganggu keteladanan kepemimpinan. Sulit membayangkan seorang pimpinan Muhammadiyah bisa dijadikan panutan bila justru memperlihatkan sikap menolak keputusan syar’i yang sudah terang benderang.

Karena itu, “abangan baru” dalam Muhammadiyah bukanlah persoalan kecil. Ia bukan hanya terkait perilaku personal, tetapi menyangkut integritas dakwah, wibawa keputusan tarjih, serta kepribadian Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan. Kepatuhan dan keteladanan menjadi kunci agar dakwah Muhammadiyah tetap istiqamah dan berpengaruh di tengah umat.

Wallâhu a‘lam bi al-shawâb.

Oleh : M. danusiri (Wakil Ketua PDM Kota Semarang)

 

Mari Berbagi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *