Kasus Konflik Hutan Adat Kampung Sawe Suma Papua Direspon Staf Presiden RI
JAKARTA [Berlianmedia – Konflik hutan adat Papua, Kantor Staf Presiden Republik Indonesia, melalui Deputi 1 Staf Presiden dalam bidang infrastruktur, energi, dan investasi, Febry Calvin Tetelepta, merespon cepat surat pengaduan mengenai pengrusakan hutan adat Papua di Kampung Sawe Suma, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura.
“Dua hari setelah pengajuan surat pengaduan, hari ini kami menerima panggilan dari Staf Presiden, bapak Febri merespon atas surat pengaduan mengenai pengrusakan hutan adat Papua, di Kampung Sawe Suma,” ujar Yosi Marten Basaur, penerima kuasa dari pemilik lahan, Jumat (12/7).
Marten, sapaan akrabnya yang hadir bersama Barnabas Jasa, pemilik lahan sekaligus anak kepala adat di Kampung Sawe Suma, mengatakan bahwa pihaknya dimintai keterangan beserta bukti-bukti terkait pengrusakan hutan adat Papua di Kampung Sawe Suma.
“Kami dimintai keterangan kronologi kejadian dan bukti-bukti terkait pengrusakan hutan adat di Kampung Sawe Suma untuk segera ditindaklanjuti oleh Staf Presiden,” kata Marten.
Atas respon cepat Staf Presiden, Marten Basaur menyampaikan harapannya agar secepatnya persoalan ini cepat ada titik terangnya.
“Dengan persoalan ini dibawa dan direspon baik oleh pihak istana, semoga persoalan pengrusakan hutan adat Kampung Sawe Suma yang dilakukan pihak perusahaan Bahana Lintas Nusantara (BLN) dapat segera diselesaikan. Nicholas Nyoto Prasetyo, selaku investor tambang sekaligus CEO Nusantara Group harus bertanggung jawab atas apa sudah dilakukannya dihutan adat Kampung Sawe Suma. Nicho harus legowo untuk datang atas panggilan dari istana,” tandas Marten Basaur.
Sementara itu, kuasa hukum ketua adat Sawe Suma, Alvares Guarino, menyampaikan terimakasih dan sangat mengapresiasi atas kerja dan respon yang begitu cepat dari Deputi 1 Staf Presiden RI atas kasus pengrusakan hutan adat ini. Dengan ikut terlibatnya pemerintah pusat dalam membantu mendamaikan serta menyelesaikan masalah yang ada ini.
“Karena Nicho waktu di Salatiga banyak di backup oleh oknum TNI dan Polisi, serta Nicho sendiri mangkir dari beberapa agenda mediasi yang ada. Sehingga dengan ikutnya pemerintah pusat melalui Deputi 1 Staf Kepresidenan dapat menetralkan kekuatan-kekuatan tersebut,” katanya.
“Besar harapan agar semua dapat terselesaikan dengan kepala dingin dan adil bagi semua pihak. Karena apabila perkara ini dibiarkan berlarut-larut, justru kasihan pemilik lahan hutan adat yang sudah dibabat seluas 1,8 hektar tersebut, karena berpotensi banjir dan longsor. Dan kalau sampai itu terjadi siapa yang mau bertanggung jawab,” imbuhnya.
Alvares mengatakan, sebagai manusia Indonesia yang berbudi pekerti luhur dan mempunyai hati baik yang mengasihi sesama umat manusia, maka jangan mangkir lagi dari panggilan resmi.
“Ayo kita selesaikan dengan baik dan dengan hati yang tulus ikhlas,” pungkasnya.
Sebagai informasi, konflik antara warga Kampung Sawe Suma, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua bermula saat Investor Tambang asal Salatiga Nicholas Nyoto Prasetyo sekaligus pemilik koperasi Bahana Lintas Nusantara di Salatiga, berniat untuk investasi untuk pembukaan tambang emas.
Setelah melalui serangkaian survei dan pembicaraan dengan ketua adat, pada 20 Februari 2024 terjadi kerjasama sistem bagi hasil. Namun pihak perusahaan justru membabat hutan tanpa ijin terlebih dahulu. Dan hingga saat ini, pembayaran kompensasi itu belum juga tidak dilakukan.
Ketua adat Sawe Suma menginginkan investor tambang tersebut bertanggungjawab atas hutan adat yang rusak setelah adanya pembukaan lahan.