Purbaya Kritisi Satgas BLBI: Banyak Ribut, Minim Hasil
SEMARANG [Berlianmedia] – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melayangkan kritik tajam terhadap Satgas BLBI, menyebutnya sibuk dengan kegaduhan tetapi minim pemulihan aset. Ia mempertimbangkan restrukturisasi bahkan pembubaran satgas tersebut demi membentuk tim internal efisien di Kemenkeu. Sorotannya membuka perdebatan: apakah pemerintah sungguh serius menagih atau hanya sekadar simbol kebijakan publik?
Tahun 2021, pemerintah membentuk Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Dana BLBI dengan ambisi besar: menagih kembali kewajiban obligor pasca-krisis moneter. Namun pada Oktober 2025, kritik dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membukakan luka lama. Menurut dia, satgas itu tampak lebih gemerlap di media daripada substansi di lapangan “banyak ribut, tetapi hasil pemulihan minim.”
Dalam wawancara publik yang kemudian dipublikasikan oleh Kompas (14 Oktober 2025), Purbaya menegaskan bahwa penagihan BLBI bukan sekadar simbol politik atau alat retorika. Jika negara akan menuntut besar jang waktu krisis terlama ini, maka harus ada hasil nyata: pemulihan aset senilai materiil, bukan sekadar seremoni penyitaan.
Tempo melaporkan pada 16 Oktober 2025 bahwa Purbaya mengkritik etos lembaga yang menampilkan pencapaian lewat konferensi pers dan liputan media, tetapi di balik layar, capaian pemulihan aset tidak memadai. “Negara tidak butuh headline negara butuh uang kembali,” katanya, menyorot besarnya ekspektasi publik yang belum tertunaikan.
Memang, data tidak sepenuhnya berpihak pada Purbaya. Menurut laporan Kontan (30 September 2025), Satgas BLBI memang sudah melakukan sejumlah penyitaan aset, seperti tanah dan bangunan. Namun menurut ekonom, banyak dari aset ini belum bisa dijual atau dilepaskan dengan harga yang mendekati nilai estimasi kerugian negara — sebagian karena sengketa hukum, sebagian karena nilai pasar yang rendah.
Kritik Purbaya memaksa pertanyaan strategis: apakah Satgas hanya menjadi alat kampanye penegakan hukum ekonomi, sementara implementasi pemulihan aset malah berjalan lamban? Dalam konteks ini, perhatian tidak cukup pada berapa banyak aset yang disita, melainkan berapa banyak dari aset itu benar-benar “dilunasi” dalam nilai riil ke kas negara.
Beberapa pejabat pemerintah membela Satgas: kompleksitas struktur obligor BLBI, keberadaan aset lintas yurisdiksi, dan tantangan tracing aset adalah hambatan besar. Namun Purbaya menepisnya, menyatakan bahwa “kompleksitas tidak boleh menjadi alasan stagnasi.” Ia menuntut agar negara tetap hadir dan aktif, bukan hanya melakukan sandiwara penegakan hukum.
Dari sudut kebijakan fiskal, kritik Purbaya berakar pada logika efisiensi dan tanggung jawab. Jika Satgas terus berdiri tanpa hasil yang substantif, maka reputasi pemerintah dan kepercayaan publik dalam menagih hutang negara bisa tergerus. Bagi Purbaya, ini bukan masalah politik semata, melainkan ujian integritas lembaga keuangan negara.
Secara strategi, Purbaya mengusulkan restrukturisasi penagihan. Alih-alih mempertahankan Satgas dengan struktur lintas lembaga yang dianggap rentan keributan dan polarisasi, ia mempertimbangkan pembentukan tim internal di Kementerian Keuangan yang lebih efisien, lebih teknis, dan bisa diawasi secara langsung oleh menteri. Langkah ini bisa mempercepat proses tracing dan eksekusi aset yang selama ini lambat.
Namun, gagasan pembubaran atau reformasi Satgas tentu tidak tanpa risiko. Jika tim internal terbukti gagal menagih, kegagalan akan lekat langsung pada Kemenkeu dan figur Purbaya sendiri. Kritikus bisa menuding bahwa pembubaran satgas berarti mundur dari komitmen penegakan lintas lembaga, serta mengurangi transparansi eksternal.
Selain itu, restrukturisasi semacam itu menuntut profesionalisme tinggi: tim internal harus memiliki kompetensi tracing aset, termasuk merunut kepemilikan asing, struktur holding, dan perusahaan-palsu. Jika tidak, ada risiko bahwa penagihan menjadi malah stagnan atau bahkan melemah karena kurang dukungan lintas sektor.
Tantangan transparansi juga muncul. Satgas BLBI, meskipun mendapat kritik, memiliki visibilitas publik tinggi konferensi pers, laporan publik, liputan media. Jika diganti oleh tim internal Kemenkeu, publik perlu diyakinkan bahwa proses penagihan tetap dapat dipantau: berapa aset yang berhasil disita, dilepaskan, dan disetorkan ke kas negara.
Dari kacamata kebijakan publik, manuver Purbaya bisa dilihat sebagai pembacaan ulang paradigma: dari penegakan simbolis menjadi penegakan substansial. Dengan menentukan bahwa hasil jauh lebih penting daripada lip service, Purbaya menegaskan bahwa era penagihan BLBI tidak boleh jadi ajang sandiwara.
Tapi kritik keras terhadap Satgas pun membuka dilema politik: apakah pembubaran satgas lintas lembaga melemahkan sinyal pemberantasan korupsi besar, atau justru menjadi solusi pragmatis untuk meningkatkan efektivitas? Publik dan pengamat akan menilai apakah keberanian Purbaya untuk mengubah struktur adalah langkah berani menuju efisiensi, atau justru memicu kontroversi baru.
Akhirnya, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah negara, melalui Kementerian Keuangan yang dipimpin Purbaya, mampu mengambil alih tanggung jawab besar ini dan benar-benar menagih kewajiban BLBI? Jika berhasil, itu bisa menjadi salah satu capaian paling signifikan dalam pemulihan aset sejarah Indonesia. Jika gagal, kritik akan menggema lebih keras bukan hanya tentang “ribut tapi kurang hasil,” tetapi tentang apakah negara benar-benar serius menagih dosa masa lalu.








