Masjid Sepi Tanpa Marbot dan Imam Tetap? Saatnya Reformasi Manajemen

SEMARANG[Berlianmedia] – Masjid sejak zaman Rasulullah bukan hanya tempat ibadah ritual, melainkan pusat peradaban umat. Di sana berlangsung pendidikan, musyawarah, pelayanan sosial, hingga strategi perjuangan. Namun, dalam realitas sekarang, tidak sedikit masjid yang terlihat sepi, bahkan sering tertutup menjelang waktu salat. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan marbot dan imam tetap yang menjaga keberlangsungan aktivitas ibadah harian. Fenomena ini menuntut solusi serius agar masjid kembali menjadi jantung kehidupan umat.

Secara teologis, Allah ﷻ menegaskan dalam QS. At-Taubah ayat 18 bahwa yang memakmurkan masjid adalah orang-orang beriman yang mendirikan salat, menunaikan zakat, dan hanya takut kepada-Nya. Hadis Nabi ﷺ juga menggarisbawahi bahwa salat berjamaah lebih utama dibandingkan salat sendirian. Dengan demikian, kemakmuran masjid adalah tanggung jawab kolektif seluruh umat, bukan sekadar takmir, imam, atau marbot.

Dari sisi hukum positif, masjid umumnya berstatus wakaf yang dilindungi UU No. 41 Tahun 2004. Regulasi ini menegaskan kewajiban menjaga fungsi masjid sesuai tujuan ibadah. Selain itu, Peraturan Menteri Agama No. 54 Tahun 2006 memberi pedoman tata kelola masjid secara profesional. Artinya, negara telah memberi payung hukum, tinggal bagaimana umat mempraktikkannya secara nyata dalam kehidupan sosial-keagamaan.

Dalam perspektif sosiologis, Durkheim menyebut agama sebagai perekat sosial. Masjid yang tidak dimakmurkan akan kehilangan fungsi integratifnya. Padahal, kehadiran imam tetap dan marbot bukan sekadar teknis menjaga bangunan, tetapi simbol kehadiran spiritual dan kepemimpinan ibadah. Imam al-Ghazali menekankan bahwa hidupnya masjid bukan karena megahnya arsitektur, melainkan konsistensi jamaah yang menghidupkan aktivitas di dalamnya.

Karena itu, manajemen kemakmuran masjid harus bersifat holistik. Pengurus perlu memastikan jamaah terlayani secara spiritual, sosial, pendidikan, dan ekonomi. Masjid semestinya menjadi pusat solidaritas umat melalui zakat, infak, dan sedekah, sekaligus ruang pembinaan generasi muda. Takmir juga dituntut kreatif, misalnya dengan gerakan Subuh berjamaah, kajian selepas Subuh, hingga program dakwah berbasis komunitas.

Fenomena masjid penuh saat Jumat namun sepi ketika Subuh menjadi ironi. Padahal Nabi ﷺ menegaskan, shalat Isya’ dan Subuh berjamaah memiliki keutamaan besar di sisi Allah. Membiasakan jamaah hadir Subuh bersama bisa menjadi ikon kebangkitan umat. Jika jamaah Subuh bisa seramai Jumat, masjid akan menjadi pusat denyut spiritual dan sosial yang sebenarnya.

Ulama besar seperti Yusuf al-Qaradawi mengingatkan bahwa masjid bukan hanya tempat shalat, tetapi pusat kehidupan umat. Hasan al-Banna pun menegaskan, kondisi masjid adalah cermin kondisi umat. Maka, marbot dan imam tetap memang penting, namun yang lebih penting adalah kesadaran kolektif untuk mengelola masjid dengan amanah, profesional, dan partisipatif.

Sudah saatnya reformasi manajemen masjid digerakkan. Dengan kepemimpinan takmir yang visioner, partisipasi jamaah yang kuat, dan inovasi program yang relevan, masjid bisa kembali menjadi pusat peradaban umat Islam. Dari Subuh hingga Isya’, dari pendidikan anak hingga solidaritas sosial, masjid harus hadir sebagai rumah besar yang menghidupkan iman sekaligus mempersatukan umat.

Oleh: Dr. H. AM Jumai, SE., MM.
Ketua LDK Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah

Mari Berbagi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *