Ilmu, Adab, dan Sentuhan Ketegasan
SEMARANG [Berlianmedia] – Pendidikan sejati tidak selalu hadir dalam kelembutan semata, kadang ia datang dalam bentuk ketegasan yang menyakitkan tapi menyelamatkan. Anak-anak generasi dahulu tumbuh dalam disiplin yang keras, namun dari situlah mereka belajar arti hormat, adab, dan tanggung jawab. Dalam ketegasan itu tersimpan kasih, dan dalam rasa sakit itu tumbuh kebijaksanaan.
Dalam perjalanan mendidik anak, seringkali orang tua dan guru dihadapkan pada dilema antara kasih sayang dan ketegasan. Zaman dahulu, banyak anak yang merasakan kerasnya tangan guru bukan karena kebencian, melainkan karena cinta yang ingin menegakkan disiplin dan menanamkan adab. Generasi yang lahir pada tahun 70-an hingga 90-an tumbuh dalam iklim pendidikan yang keras namun penuh makna. Penghapus kayu, penggaris panjang, atau cubitan kecil menjadi bagian dari bahasa pendidikan yang mendidik, bukan menyakiti. Mereka belajar bukan hanya dari buku, tetapi dari sikap, ketegasan, dan teladan. Mereka tumbuh kuat, hormat pada orang tua, dan tidak mudah mengeluh.
Syair Arab klasik mengajarkan sebuah hikmah mendalam:
لا تَحْزَنْ على الصِّبيانِ إنْ ضُرِبوا
الضَّربُ يَفْنِي ويَبْقَى العِلْمُ والأدَبُ
“Tak usah bersedih jika anakmu dipukul, pukulannya akan lenyap, namun ilmu dan adabnya akan tetap melekat.”
Pukulan dalam konteks pendidikan klasik bukanlah kekerasan, melainkan simbol ketegasan, tanda kasih sayang yang disertai niat mendidik. Sebab, dalam Islam, tujuan pendidikan bukan sekadar mencetak anak pintar, tapi anak yang beradab. Adab lebih tinggi nilainya daripada ilmu, karena adab adalah cermin dari hati yang bersih dan jiwa yang terarah.
Nabi ﷺ bersabda:
مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدَهُ نِحْلًا أَفْضَلَ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ
(Tidaklah seorang ayah memberikan sesuatu kepada anaknya yang lebih baik daripada adab yang baik.)
(HR. Tirmidzi, no. 1952)
Hadis ini menegaskan bahwa tanggung jawab terbesar orang tua bukan hanya memberikan harta, sekolah terbaik, atau fasilitas mewah, melainkan menanamkan adab yang benar. Adab membuat anak tahu bagaimana menghormati guru, berbicara dengan sopan, bersikap santun, dan menahan diri ketika marah.
Zaman boleh berubah, namun nilai-nilai adab tidak boleh luntur. Dulu, anak-anak tidak mudah mengadu kepada orang tua meski ditegur keras oleh guru. Mereka tahu, guru adalah perpanjangan tangan orang tua dalam urusan ilmu dan pendidikan. Karena itu, mereka tetap hormat meski pernah dimarahi, bahkan mungkin dipukul.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
(Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.)
(HR. Muslim, no. 2699)
Namun jalan ilmu tidak selalu mulus. Ia dipenuhi ujian, ketegasan, dan pengorbanan. Bahkan dalam dunia tasawuf dikatakan, “Barangsiapa ingin mendapat cahaya ilmu, maka ia harus rela disucikan dari kegelapan hawa nafsu.” Salah satu bentuk penyucian itu adalah kesediaan untuk ditegur, diarahkan, bahkan dikoreksi keras oleh guru.
Syair berikut menambahkan makna yang dalam:
الضَّربُ يَنْفَعُهُم والعِلْمُ يَرْفَعُهُم
لَوْلا المخَافَةُ ما قَرَؤوا ولا كَتَبُوا
“Pukulan itu bermanfaat bagi mereka, dan ilmu mengangkat derajat mereka. Kalau bukan karena rasa takut, niscaya mereka tidak akan membaca dan menulis.”
Rasa takut di sini bukan ketakutan buta, tapi rasa hormat dan kewibawaan. Ketika guru dihormati, ilmu akan mudah masuk ke dalam hati. Jika adab terhadap guru hilang, maka keberkahan ilmu pun akan sirna. Imam Malik rahimahullah berkata kepada muridnya, “Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.” Sebab adab adalah pintu masuk menuju cahaya ilmu.
Syair ketiga mempertegas makna itu:
لَوْلا المخَافَةُ كان النَّاسُ كُلُّهُمُ
شِبْهَ الجَمَادِ فلا عِلْم ولا أَدَبُ
“Sekiranya tidak ada rasa takut, niscaya semua manusia akan seperti benda mati tanpa ilmu dan tanpa adab.”
Tanpa ketegasan, manusia kehilangan arah. Tanpa disiplin, anak kehilangan batas. Pendidikan yang hanya bertumpu pada kasih tanpa ketegasan ibarat perahu tanpa kemudi lembut tapi mudah hanyut. Islam mengajarkan keseimbangan antara kasih sayang dan ketegasan. Dalam Surah Al-‘Ashr, Allah mengingatkan:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1–3)
Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran menuntut adanya kejujuran dan keberanian termasuk keberanian guru menegur murid, dan kesabaran murid menerima teguran. Dari sinilah lahir generasi kuat yang tidak mudah tersinggung, tidak lemah oleh kritik, dan tidak runtuh oleh kegagalan.
Karena itu, ketika seorang guru menegur, bukan berarti ia benci. Justru itulah tanda kasih sayangnya. Sebab, guru yang tidak peduli adalah guru yang membiarkan muridnya jatuh dalam kesalahan. Sedangkan guru yang menegur, bahkan dengan ketegasan, sedang berjuang menyelamatkan masa depan anak didiknya.
Semoga kita mampu menjadi orang tua dan pendidik yang bijaksana yang tahu kapan harus lembut, dan kapan harus tegas. Semoga anak-anak kita tumbuh dengan ilmu yang bermanfaat dan adab yang luhur, karena keduanya adalah cahaya kehidupan. Sebagaimana doa Rasulullah ﷺ:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
(Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima.)
(HR. Ibnu Majah, no. 925)
Ketika ilmu dan adab bersatu, maka lahirlah generasi tangguh, santun, dan bermartabat generasi yang bukan hanya cerdas akal, tetapi juga cerdas hati. Dan dari merekalah peradaban akan kembali berdiri.








