Ketika Akal Sehat Dikalahkan Formalitas Kekuasaan
SEMARANG [Berlianmedia] – Kasus kepala SMA di Banten yang menampar siswa karena merokok memantik debat publik: siapa sebenarnya yang melanggar nilai pendidikan sang kepala sekolah yang menegakkan disiplin, atau pemerintah yang tergesa menghukumnya? Ketika logika moral kalah oleh politik pencitraan, pendidikan kehilangan ruhnya, dan kewibawaan guru dipangkas oleh tangan kekuasaan yang gemetar menghadapi komentar warganet.
Kisah ini bermula dari berita detikNews edisi Rabu, 15 Oktober 2025, berjudul “Andra Cabut Status Nonaktif Kepala SMA di Banten yang Tampar Siswa Merokok.” Dalam laporan itu, Gubernur Banten Andra Soni memutuskan mencabut status nonaktif terhadap kepala SMA yang sempat dijatuhi sanksi karena menampar siswanya yang tertangkap merokok di lingkungan sekolah. Sebelumnya, sang kepala sekolah dinonaktifkan secara tiba-tiba, seolah-olah kesalahan terbesar dalam dunia pendidikan hari ini adalah menegakkan aturan dengan ketegasan moral.
Padahal, aturan itu sudah jelas, tidak lahir dari emosi, tapi dari hukum tertulis negara. Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 Pasal 5 dengan tegas menyebut bahwa kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik dilarang merokok di lingkungan sekolah. Bahkan, kepala sekolah wajib menegur dan mengambil tindakan jika terjadi pelanggaran. Artinya, menegakkan disiplin bukan pilihan pribadi, tetapi mandat hukum. Namun, ketika mandat itu dijalankan, yang terjadi justru kepala sekolahnya dicopot. Ironi yang begitu kental aroma sinismenya birokrasi menepuk dada atas aturan yang mereka sendiri tidak pahami.
Kronologi sederhana yang beredar di media sosial menjelaskan situasi sebenarnya: sekolah tengah melaksanakan kegiatan Jumat Bersih. Seorang siswa kedapatan merokok di belakang sekolah, tidak mau mengaku meski tertangkap basah, bahkan absen dari kerja bakti. Tiga kesalahan sekaligus: melanggar aturan, berbohong, dan menolak tanggung jawab sosial. Namun, dalam nalar sebagian pejabat, dosa terbesar justru ada pada kepala sekolah yang menegur dengan tamparan simbolik tamparan yang kini dianggap lebih kriminal daripada membiarkan siswa menghisap racun di bawah seragam putih abu-abu.
“Ini contoh negara sakit!” tulis seorang warganet dalam unggahan yang viral di X (dulu Twitter). Kalimat itu bukan sekadar umpatan emosional, melainkan refleksi publik terhadap absennya akal sehat dalam pengambilan keputusan. Dalam kasus ini, publik menyaksikan bagaimana kekuasaan birokratis menelan keadilan moral mentah-mentah. Kepala sekolah yang mestinya menjadi teladan ketegasan justru dijadikan kambing hitam politik seremonial.
Seperti diberitakan detikNews (15/10/2025), keputusan pencabutan status nonaktif baru dilakukan setelah gelombang dukungan publik membanjiri ruang maya. Ribuan komentar mendesak agar Gubernur Andra Soni mengoreksi keputusannya. Begitu kritik menumpuk, tiba-tiba muncul klarifikasi cepat sanksi dicabut, kepala sekolah dikembalikan ke jabatannya. Sebuah manuver yang tampak heroik di permukaan, tapi memancarkan aroma ketakutan di dalamnya. Bukan keberanian moral yang bekerja di situ, melainkan rasa panik pejabat yang takut kehilangan simpati publik. Akhirnya, kebijakan berubah bukan karena refleksi mendalam, tapi karena tekanan trending topic.
Di titik ini, sinisme menjadi cermin realitas. Bagaimana tidak? Dalam hierarki nilai, seharusnya guru menjadi benteng terakhir akhlak di sekolah. Namun, ketika benteng itu berdiri tegak, justru ia yang ditembak dari belakang oleh birokrasi yang ingin tampil santun di mata publik. Padahal, setiap guru tahu: disiplin tidak tumbuh dari senyum dan pamflet moral, tetapi dari konsekuensi. Tamparan bukan bentuk kekerasan fisik semata—ia bisa bermakna simbolik, peringatan yang menegakkan batas agar generasi tidak tumbuh liar dalam ruang tanpa arah.
Namun kini, kepala sekolah dituntut menjadi malaikat sabar tanpa hak marah. Dunia pendidikan dipaksa steril dari rasa tanggung jawab keras, diganti dengan pencitraan kelembutan administratif. Jika siswa salah, guru wajib senyum dan menulis laporan. Jika siswa berbohong, kepala sekolah harus membuat forum refleksi. Dan jika guru menegur dengan nada tinggi, ia bisa dicopot karena dianggap tidak ramah anak. Ironisnya, pelanggaran siswa yang nyata merokok, bolos, berbohong terhapus oleh narasi “guru kasar.” Inilah era ketika moral lebih diukur dari gestur tangan ketimbang niat mendidik.
Sebagian warganet bahkan menuding Gubernur Banten gagal memahami konteks pendidikan. “Bukannya menjembatani masalah, malah langsung menonaktifkan kepala sekolah. Gubernur macam apa yang berpikir dangkal begitu?” tulis komentar yang beredar luas, mengutip perasaan masyarakat yang geram. Kritik itu mungkin terdengar kasar, tapi di baliknya ada pesan penting: kekuasaan seharusnya tidak menggantikan akal sehat dengan reaksi spontan populis. Seorang pemimpin pendidikan daerah mestinya bisa melihat bahwa solusi terbaik bukan hukuman sepihak, melainkan mediasi yang mendidik kedua belah pihak guru dan siswa dalam semangat keadilan yang sejati.
Langkah tergesa menonaktifkan kepala sekolah sama saja memberi pesan buruk bagi seluruh tenaga pendidik di Indonesia: “Berhati-hatilah menegur murid, karena hukum akan berpihak pada yang berbuat salah asal pandai menangis di media sosial.” Pesan ini berbahaya, sebab ia mengikis kewibawaan sekolah. Tak heran bila sebagian guru kini lebih memilih diam daripada menegur, takut dikriminalisasi oleh tafsir sempit pejabat. Ketika kepala sekolah tak berani menegur, dan murid tak lagi takut melanggar, di situlah sistem pendidikan perlahan sekarat dalam diam.
Bila Gubernur Andra Soni ingin menjadi pemimpin berwibawa, seharusnya ia tidak sekadar mencabut sanksi karena tekanan publik. Ia perlu mengakui bahwa keputusan awalnya salah bahwa nonaktifnya kepala sekolah itu merupakan bentuk kejang birokrasi yang mengabaikan konteks. Keberanian sejati bukan terletak pada mencabut sanksi, tapi pada mengakui kekeliruan dengan jujur. Karena pejabat yang berani meminta maaf kepada guru, sejatinya sedang menunjukkan kebesaran moral yang tak bisa ditandingi oleh jabatan.
Kasus ini menjadi cermin yang menyakitkan tentang arah pendidikan kita. Ketika hukum dibuat hanya untuk dipamerkan, dan kebijakan diubah hanya karena komentar warganet, maka sekolah bukan lagi tempat menanam karakter, melainkan panggung politik pencitraan. Tamparan kepala sekolah di Banten bukan hanya bunyi tangan di pipi seorang siswa, tapi gema dari sistem pendidikan yang kehilangan otoritas moralnya.
Dan ketika publik harus bersuara lantang agar kebenaran sederhana kembali ditegakkan, itu tandanya bukan hanya siswa yang perlu dididik tetapi juga pejabat yang mengatur sekolah. Seperti kata seorang guru tua: “Pendidikan tanpa ketegasan hanyalah upacara tanpa makna.” Maka, jika negeri ini masih ingin sehat, sudah waktunya berhenti menghukum orang yang berani menegakkan disiplin demi masa depan anak bangsa.








