Cerpen: Satu Linting, Tujuh Nama, Satu Dosa
SEMARANG [Berlianmedia] – Ketika razia rutin dilakukan di rumah tahanan itu, satu linting ganja ditemukan di sudut kamar sempit yang dihuni tujuh orang. Berita langsung membakar layar televisi dan linimasa media sosial. Salah satu nama yang terseret: Zoni. Di mata publik, ia langsung menjadi pesakitan baru. Namun, kebenaran jarang lahir dari apa yang tampak.
Langit siang itu tampak redup di atas atap rutan Cipinang. Panas menyengat bercampur aroma besi berkarat dan sabun murah dari kamar mandi umum. Dari balik jeruji, suara tawa dan keluhan bercampur menjadi satu seperti simfoni sumbang kehidupan para penghuni rutan.
Zoni duduk di pojok ranjang bertingkat paling bawah, mengenakan kaus putih yang mulai pudar warnanya. Ia tidak banyak bicara. Sejak razia pagi itu, matanya sering kosong menatap lantai. Di tangannya, buku tipis lusuh bertuliskan “Doa dan Harapan di Balik Jeruji.” Ia menulisnya sendiri, setiap malam.
“Lu tenang aja, Ni,” ujar Farid, teman sekamarnya yang bertubuh gempal. “Cuma gara-gara sebatang linting ganja doang, kok. Gak bakal lama.”
Zoni hanya menghela napas. “Masalahnya bukan di ganjanya, Rid. Tapi di namaku.”
Farid tertawa hambar. “Iya, lu kan dulu artis. Beda kalau yang kena si Rudi, paling cuma dua baris di koran.”
Zoni menutup buku kecilnya pelan. Ia tahu, di dunia luar, orang-orang sudah menilai bahkan sebelum tahu duduk perkara. Seolah kebenaran cukup disimpulkan dari headline.
Beberapa hari sebelumnya, razia rutin dilakukan. Petugas menemukan sebatang linting ganja di bawah kasur dekat jendela kamar nomor 7. Tujuh orang penghuni dipanggil satu per satu. Tak ada yang mengaku. Tapi di antara mereka, hanya satu nama yang punya masa lalu kelam: Zoni.
Berita pun meledak.
“Artis kembali tersandung kasus narkoba!”
“Zoni edarkan ganja di dalam rutan!”
“Razia rutan ungkap jaringan baru!”
Padahal, yang terjadi hanyalah temuan kecil di kamar penuh orang, tanpa bukti siapa pemiliknya. Tapi publik tak butuh bukti. Mereka hanya butuh kisah untuk dibenci.
Pihak rutan kalang kabut. Dirjen Pemasyarakatan, Mashudi, akhirnya bicara. “Ini bukan kasus peredaran. Hanya satu linting yang ditemukan. Bisa jadi hasil penyelundupan saat jam besuk. Kami akan evaluasi petugas dan kepala rutan.”
Tapi pernyataan itu kalah cepat dari gosip. Di dunia maya, Zoni tetap menjadi simbol “pengulangan kesalahan.” Setiap komentar, setiap unggahan, adalah penghakiman tanpa ruang pembelaan.
Di sel, Zoni mencoba memejamkan mata. Ia ingat ibunya. Ingat anaknya yang baru bisa menulis namanya sendiri di sekolah. Ingat bagaimana ia berjanji akan berubah, menjauhi semua yang dulu menjerumuskannya. Tapi hidup, kadang, tidak memberi kesempatan kedua yang adil.
Waktu berjalan lambat di rutan. Hari-hari terasa seperti pengulangan dosa yang tak pernah selesai. Hingga suatu sore, petugas memanggil mereka satu per satu untuk pemeriksaan ulang.
Petugas muda bernama Guntur memeriksa sudut kamar itu lagi. Di bawah ubin dekat dinding, ia menemukan sesuatu yang sebelumnya luput: sobekan kecil plastik bening dan selembar tisu. Setelah diperiksa laboratorium, tak ditemukan jejak DNA milik Zoni.
Namun berita itu tak pernah sampai ke publik. Tak menarik, kata seorang wartawan yang dulu rajin meliput. “Publik lebih suka cerita jatuhnya, bukan kebenarannya.”
Tiga minggu kemudian, Zoni dipanggil oleh kepala rutan. “Kamu akan dipindahkan ke blok lain. Hasil investigasi menyebut kamu tidak bersalah.”
Zoni tersenyum tipis. “Tapi di luar sana saya sudah dianggap bersalah, Pak.”
Kepala rutan menunduk. “Begitulah nasib orang yang pernah jatuh, Zoni. Dunia hanya mengingat dosanya, bukan perbaikannya.”
Zoni menatap keluar jendela, melihat cahaya sore menembus kisi-kisi besi. “Saya cuma ingin bisa menatap anak saya tanpa rasa malu,” bisiknya lirih.
Waktu bergulir. Dua bulan setelah dinyatakan bersih, Zoni bebas bersyarat. Di luar, wartawan menunggu seperti kawanan burung lapar. Mikrofon disodorkan, kamera dinyalakan, dan pertanyaan datang bertubi-tubi.
“Apakah benar Anda kembali memakai ganja di rutan?”
“Apakah benar Anda punya jaringan di dalam?”
“Apakah benar Anda menyesal?”
Zoni menatap mereka satu per satu. “Yang benar itu bukan apa yang kalian dengar, tapi apa yang tidak kalian mau dengar,” ucapnya pelan. Lalu ia melangkah pergi tanpa menoleh.
Beberapa bulan setelah kebebasannya, berita baru muncul. Petugas rutan Guntur ditangkap karena menerima uang suap dari seorang pengunjung yang membawa barang terlarang. Dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa ganja yang ditemukan di kamar Zoni dulu memang dibawa oleh pengunjung lain yang menyelundupkannya lewat jam besuk.
Namun, tidak ada satu pun media besar yang memuat kabar itu di halaman utama.
Zoni kini bekerja sebagai relawan di lembaga rehabilitasi. Ia mengajar para mantan pengguna untuk menulis, menyalurkan luka menjadi kalimat. Di ruang sederhana dengan dinding penuh coretan motivasi, ia menulis di papan tulis:
> “Diremehkan, jangan menyerah. Dihina, jangan berhenti. Dituduh, tetap sabar. Kebenaran kadang datang tanpa suara.”
Anak-anak muda itu menatap kagum. Mereka tahu siapa dia. Tapi mereka juga tahu, di hadapan mereka kini berdiri seseorang yang menolak menjadi korban dari masa lalu dan fitnah.
Malam itu, ketika ia sendirian di kamar kontrakannya, Zoni membuka laci kecil di meja. Di dalamnya, tersimpan potongan tisu yang ditemukan saat razia dulu bukti kecil yang tak pernah sampai ke berita.
Ia menatap benda itu lama, lalu menulis satu kalimat di buku harian lusuhnya:
> “Kebenaran tak selalu membebaskan. Kadang, ia hanya datang untuk menguji, apakah kau masih sanggup menjadi manusia di tengah dunia yang gemar menghukum.”
Di luar, suara televisi kembali menyiarkan berita tentang artis lain yang tertangkap narkoba. Linting yang sama, tuduhan yang serupa.
Zoni mematikan lampu, menatap langit-langit yang remang. Ia tersenyum getir.
Keesokan paginya, seorang petugas datang tergopoh-gopoh ke ruang kontrakan itu. Zoni ditemukan tak bernyawa di kursinya, dengan buku harian terbuka di halaman terakhir. Di sampingnya, sebatang linting ganja yang masih utuh hasil rekayasa orang yang dulu menyuap Guntur, diletakkan untuk menciptakan sensasi berita baru.
Dan sekali lagi, layar televisi menampilkan wajahnya.
“BREAKING NEWS: Zoni Kembali Tersandung Kasus Ganja!”
Kebenaran, ternyata, memang tak pernah sempat bicara.








