Wajah Asli di Balik Kepentingan

SEMARANG [Berlianmedia] – Kita sering tertipu oleh senyum yang hangat, oleh kata-kata manis yang terdengar tulus, oleh perhatian yang terasa ikhlas. Namun waktu memiliki cara membongkar segalanya. Saat kita tak lagi menguntungkan, di situlah topeng-topeng akan jatuh. Dari situ, Allah mengajari kita makna keikhlasan, kejujuran, dan ketulusan dalam hubungan manusia.

Tidak semua yang tampak baik benar-benar baik, dan tidak semua yang menjauh berarti membenci. Kadang, Allah menyingkapkan hati manusia agar kita belajar menaruh cinta pada tempat yang tepat. Dalam perjalanan hidup, kita akan bertemu banyak orang. Ada yang datang karena cinta sejati, ada pula yang datang karena ingin menikmati manfaat dari kehadiran kita. Begitulah manusia, sebagian tulus, sebagian bersyarat.

Al-Qur’an telah menggambarkan tabiat manusia dengan begitu jujur dalam firman-Nya:

﴿وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ فَإِذَا أُوذِيَ فِي اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللَّهِ﴾
“Dan di antara manusia ada yang berkata: ‘Kami beriman kepada Allah,’ tetapi apabila dia disakiti karena (beriman kepada) Allah, dia menganggap cobaan manusia itu seperti azab Allah.” (QS. Al-‘Ankabut: 10)

Ayat ini mengajarkan bahwa banyak manusia yang menampilkan keimanan dan kebaikan hanya selama hal itu menguntungkan bagi dirinya. Begitu situasi berbalik, maka wajah aslinya muncul menunjukkan bahwa yang dulu tampak lembut bisa menjadi dingin, yang dulu mengaku saudara bisa berubah menjadi asing.

Rasulullah ﷺ juga pernah memperingatkan bahwa hati manusia mudah berubah. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, beliau bersabda:
«إِنَّ القُلُوبَ بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ، يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ»
“Sesungguhnya hati manusia berada di antara dua jari dari jari-jari Ar-Rahman, Dia membolak-balikkan hati itu sesuai kehendak-Nya.” (HR. Muslim)

Maka jangan heran bila seseorang yang dulu tampak setia, perlahan berubah menjadi asing ketika kita tak lagi bermanfaat baginya. Itu bukan kebetulan, melainkan cara Allah memperlihatkan bahwa cinta manusia sering bersyarat, sementara cinta-Nya tidak pernah berpamrih.

Di sisi lain, pengalaman ditinggalkan atau dikhianati juga bagian dari didikan Allah. Ia melatih hati agar tidak bergantung pada makhluk. Sebab jika cinta dan pengharapan kita tertambat pada manusia, kekecewaan akan menjadi teman setia. Namun bila hati hanya bertumpu pada Allah, setiap pengkhianatan akan terasa sebagai tanda kasih agar kita semakin mendekat pada-Nya.

Allah berfirman:
﴿وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ﴾
“Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha Hidup, Yang tidak akan mati.” (QS. Al-Furqan: 58)

Ayat ini seolah menegaskan, jangan sandarkan ketenangan pada manusia yang fana, karena semua yang bergantung pada sesuatu yang fana akan ikut hancur bersamanya. Sandarkan hatimu hanya kepada Yang Kekal.

Kita memang hidup berdampingan dengan orang lain, tapi jangan sampai hidup kita dikendalikan oleh pandangan dan kepentingan mereka. Jangan pula berharap setiap orang akan mengerti dan membalas kebaikan dengan kebaikan. Dalam hidup ini, ada orang yang hadir untuk menemani, ada yang hadir untuk menguji, dan ada pula yang hadir hanya untuk mengambil lalu pergi. Semuanya adalah bagian dari takdir yang mengajarkan kebijaksanaan.

Rasulullah ﷺ bersabda:
«أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا، عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا، عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا»
“Cintailah orang yang kamu cintai dengan sewajarnya, bisa jadi suatu hari dia menjadi orang yang kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci dengan sewajarnya, bisa jadi suatu hari dia menjadi orang yang kamu cintai.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini menegaskan keseimbangan dalam mencintai dan membenci. Jangan terlalu ekstrem dalam perasaan, sebab hati manusia mudah berbalik. Cinta yang berlebihan bisa berubah menjadi luka paling dalam, sementara benci yang berlebihan bisa menjadi penyesalan di kemudian hari.

Kita perlu belajar bahwa nilai seseorang bukan diukur dari seberapa banyak orang yang memujinya, tapi dari seberapa tulus ia tetap berbuat baik bahkan ketika tak ada yang melihat. Nilai persahabatan pun bukan diukur dari seberapa lama kebersamaan, melainkan seberapa tulus seseorang bertahan ketika kita tak lagi memberi manfaat apa pun.

Mungkin Allah membiarkan beberapa orang menjauh bukan karena mereka buruk, tetapi karena Dia ingin menjaga kita dari luka yang lebih dalam. Bisa jadi pula, Allah membiarkan kita kehilangan agar kita belajar menilai diri sendiri bukan dari cara orang lain memperlakukan kita, tapi dari cara kita tetap bersabar dan berbuat baik meski disakiti.

Allah berfirman:
﴿إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ﴾
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali ‘Imran: 146)

Sabar di sini bukan sekadar diam, tapi kemampuan menjaga hati agar tetap bersih meski disakiti. Karena jika balasan kita terhadap kejahatan adalah keburukan juga, maka kita tidak lebih baik dari mereka. Namun bila kita tetap menjaga akhlak dan ketenangan, Allah sendiri yang akan meninggikan derajat kita.

Setiap pengkhianatan, setiap kehilangan, setiap perubahan sikap orang yang dulu kita anggap teman sejati semua itu adalah cermin. Ia memperlihatkan siapa yang benar-benar tulus dan siapa yang datang hanya karena kepentingan. Dan dari cermin itu, kita juga belajar menilai diri sendiri: apakah selama ini kita mencintai karena Allah atau karena dunia.

Maka ketika versi asli seseorang muncul, jangan buru-buru kecewa. Anggap saja itu tanda kasih dari Allah yang sedang melindungimu dari kepalsuan yang lebih dalam. Kadang, kekecewaan adalah bentuk jawaban atas doa yang dulu kita panjatkan agar didekatkan dengan orang-orang yang baik. Hanya saja, cara Allah menjawabnya berbeda dari yang kita harapkan.

Bersyukurlah ketika topeng orang-orang mulai terbuka. Sebab dari situ, kita tahu siapa yang pantas dijaga dan siapa yang cukup didoakan. Dan di antara segala perubahan itu, semoga hati kita tetap lembut, tetap memaafkan, tanpa kehilangan kewaspadaan. Karena hidup bukan soal membalas luka, tapi menjaga diri agar tak berubah menjadi seperti mereka yang pernah melukai kita.

Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
«لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِندَ الْغَضَبِ»
“Orang yang kuat bukanlah yang menang dalam gulat, tetapi yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka biarlah wajah asli orang lain muncul pada waktunya. Tugas kita bukan membenci, melainkan tetap berjalan dalam keikhlasan. Sebab siapa pun yang memilih jujur dan sabar di tengah kepalsuan, Allah sendiri yang akan meneguhkan langkahnya hingga akhir.

Mari Berbagi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *