Social Return, Mark Up, dan Kereta yang Tak Sampai Bandung

SEMARANG [Berlianmedia] – Negeri ini membanggakan kereta cepat yang melesat 350 kilometer per jam, tapi cara berpikir pejabatnya tampak masih di rel lama: alasan klasik, utang besar, dan audit yang tak kunjung nyata. Di balik jargon “kebanggaan nasional”, publik justru melihat tanda tanya besar yang bergerak lebih cepat dari Whoosh itu sendiri.

Presiden Joko Widodo kembali menegaskan bahwa proyek kereta cepat Jakarta–Bandung bukan soal laba. “Transportasi umum tidak diukur dari keuntungan finansial, tetapi dari social return on investment, seperti pengurangan emisi karbon,” katanya saat berada di kawasan Kottabarat, Solo, Senin (27/10/2025), dikutip dari tvOneNews.com. Ucapannya terdengar tenang, bahkan rasional. Tapi bagi sebagian rakyat yang macet di jalur Cikampek dan Pasteur setiap pagi, alasan itu terasa seperti humor di jam sibuk.

Menurut Presiden, proyek Whoosh dibangun karena kemacetan di Jabodetabek dan Bandung sudah sangat parah. “Kalau di Jakarta saja kerugiannya kira-kira Rp65 triliun per tahun. Kalau Jabodetabek plus Bandung kira-kira sudah di atas Rp100 triliun per tahun,” ucapnya. (Kompas.com, 27 Oktober 2025). Pernyataan yang seolah ingin menjawab semua tudingan pemborosan itu justru membuka satu pertanyaan baru: adakah data kredibel yang menunjukkan kemacetan berkurang signifikan setelah Whoosh beroperasi?

Sampai hari ini, belum ada laporan publik yang menunjukkan adanya penurunan volume kendaraan atau waktu tempuh rata-rata di koridor Jakarta–Bandung akibat proyek ini. Badan Kebijakan Transportasi Kemenhub sendiri belum merilis angka pembanding. Sementara laporan lapangan menunjukkan fakta lain: jalur utama menuju Bandung tetap padat, dan ironisnya, kereta cepat itu bahkan tidak berhenti di pusat kota Bandung, melainkan di Tegalluar, sekitar 16 kilometer dari alun-alun kota. (Detik.com, 15 Oktober 2025).

Dengan tiket pulang-pergi yang mencapai Rp500 ribu–Rp600 ribu, moda ini sulit dianggap solusi transportasi rakyat. Kursi di beberapa gerbong kerap kosong di hari kerja. Seorang penumpang yang diwawancarai CNN Indonesia (18 Oktober 2025) menyebut, “Saya naik Whoosh cuma buat coba aja. Setelah itu, ya balik naik mobil. Lebih praktis.” Di titik ini, tampak jelas bahwa proyek ini lebih cepat membakar anggaran daripada mengurai kemacetan.

Namun publik bukan hanya memperdebatkan manfaatnya, melainkan juga biayanya. Dengan jarak 142 kilometer, proyek Whoosh menelan dana Rp113 triliun. Bandingkan dengan proyek kereta cepat Riyadh–Makkah di Arab Saudi sepanjang 1.500 kilometer yang hanya menelan biaya sekitar Rp112 triliun, menurut laporan Arab News, 2024. Secara matematis, biaya per kilometer proyek Indonesia lebih dari sepuluh kali lipat. Perbandingan ini tidak bisa dijawab dengan sekadar dalih “kondisi geografis berbeda.” Perbedaan wajar mungkin dua kali, bukan sepuluh.

Presiden Jokowi mungkin benar bahwa proyek transportasi massal tidak harus menguntungkan secara finansial. Tapi bukan berarti tidak perlu efisien. Social return hanya masuk akal bila pengelolaan sosialnya tidak bocor. Di sinilah publik mendesak audit menyeluruh terhadap proyek KCIC bukan hanya karena utang membengkak, tetapi karena transparansi menipis. (Tempo.co, 25 Oktober 2025).

Kecurigaan mark up sudah lama beredar. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai kenaikan biaya proyek yang melonjak dari USD 6 miliar menjadi lebih dari USD 8 miliar adalah “anomali yang tak bisa dijelaskan dengan inflasi material semata.” (Bisnis.com, 2023). Tapi di negeri ini, angka bisa naik dengan cepat, dan penjelasan bisa datang lebih lambat dari jadwal keberangkatan kereta.

Ironinya, Presiden pernah mengkritik proyek yang tidak punya feasibility study matang. Tapi proyek ini justru menjadi contoh paling gamblang dari absennya risk assessment yang transparan. Ketika ditanya soal lonjakan biaya, penjelasan yang muncul justru mengambang: “Yang penting manfaat sosialnya besar.” (TVRI Nasional, 28 Oktober 2025). Seakan-akan audit keuangan bisa diganti dengan audit rasa.

Bagi sebagian kalangan, Whoosh hanyalah simbol dari cara lama membangun prestise: proyek mercusuar dengan pembenaran moral. Sebuah pembangunan yang tidak selalu menjawab masalah, tapi menimbulkan masalah baru. Rakyat di Cikarang dan Purwakarta tetap macet, sementara angka utang negara kian menanjak. (Kontan.co.id, 20 Oktober 2025).

Kritik publik makin tajam karena ini bukan pertama kalinya janji besar diucapkan tanpa bukti konkret. Masyarakat masih ingat bagaimana dulu mobil Esemka disebut sudah dipesan ribuan unit, atau proyek IKN dijanjikan tanpa APBN. Semua dengan nada keyakinan yang sama. Keyakinan itu kini juga disematkan pada Whoosh seolah-olah kritik adalah bentuk pengkhianatan terhadap kemajuan.

Tapi kemajuan tidak diukur dari seberapa cepat kereta berlari, melainkan dari seberapa jujur pemerintah menempuh perjalanannya. Transparansi adalah rel utama pembangunan. Tanpa itu, semua klaim “social return” hanya akan jadi jargon kosong yang menutupi financial loss.

Audit publik bukan sekadar formalitas. Itu adalah hak rakyat yang uangnya digunakan, pajaknya dipungut, dan suaranya diminta. Bila proyek ini benar bersih dan efisien, audit justru akan mengangkat citra pemerintah. Tapi jika tidak, publik berhak tahu siapa yang menyalakan mesin mark up di balik kecepatan ini.

Whoosh mungkin tidak sampai ke Bandung, tapi semoga auditnya bisa sampai ke akal sehat. Karena yang kita butuhkan hari ini bukan sekadar proyek cepat, melainkan kebijakan yang tepat dan pejabat yang berani berhenti sejenak untuk berpikir sebelum menekan pedal gas pembangunan.

Mari Berbagi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *