Reformasi Sopir JakLingko Lewat Pelatihan Ulang

SEMARANG [Berlianmedia] – Lonjakan keluhan penumpang terhadap perilaku sopir Mikrotrans mendorong Pemprov DKI Jakarta melakukan pelatihan ulang besar-besaran. Program ini tidak hanya dimaksudkan sebagai pembinaan, tetapi juga ujian bagi kualitas layanan transportasi publik di Ibu Kota. Kebijakan ini mengundang tanya: apakah pelatihan ulang cukup menyelesaikan akar masalah, atau hanya merapikan permukaan yang retak?

Rencana Pemprov DKI Jakarta untuk melatih ulang ribuan sopir Mikrotrans respon atas banyaknya keluhan soal perilaku ugal-ugalan dan sikap tidak ramah menandai babak baru dalam reformasi layanan transportasi publik. Pemerintah menegaskan langkah ini bukan hukuman, melainkan investasi kualitas layanan. (ANTARA – 13 November 2025)

Menurut Staf Khusus Gubernur DKI Bidang Komunikasi Publik, Chico Hakim, pelatihan ulang ini dirancang sebagai upaya peningkatan profesionalitas sekaligus kesejahteraan sopir. Pemprov ingin memastikan bahwa pengemudi tidak hanya mahir mengemudi, tetapi juga memiliki standar etika dan pelayanan yang memadai. (ANTARA – 13 November 2025)

TransJakarta juga menargetkan perekrutan seribu pramudi baru tanpa menggantikan seluruh sopir lama, demi memenuhi kebutuhan armada yang terus bertambah. Ini menjadi isyarat bahwa reformasi tidak hanya fokus pada koreksi perilaku, tetapi juga memperkuat struktur SDM secara keseluruhan. (ANTARA – 13 November 2025)

Bagi sopir yang sudah bertahun-tahun bekerja, pelatihan ulang menjadi syarat perpanjangan sertifikat yang berlaku tiga tahun. Kurikulumnya meliputi defensive driving, etika profesi, pelayanan prima, penanganan keadaan darurat, hingga penguasaan sistem tiket digital. Dengan demikian, pelatihan tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga mengubah pola pikir layanan. (ANTARA – 13 November 2025)

Tetapi data yang menjadi latar kebijakan ini menunjukkan bahwa masalahnya jauh lebih struktural. TransJakarta mencatat 1.127 keluhan masyarakat terhadap sopir Mikrotrans sepanjang Januari–Oktober 2025, dari total 3.842 pramudi aktif. Dari laporan tersebut, 68 persen berkaitan dengan gaya mengemudi ugal-ugalan, 22 persen soal sikap tidak ramah, dan 10 persen karena sopir membawa keluarga saat bertugas. (ANTARA – 14 November 2025)

Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menegaskan bahwa sopir yang tetap berperilaku buruk meski sudah melalui pelatihan akan diganti. Pernyataan ini memperlihatkan bahwa pelatihan ulang bukan formalitas, melainkan proses seleksi profesional dalam transportasi publik. (ANTARA – 14 November 2025)

Di sisi lain, modernisasi sistem transportasi juga berjalan. Pemprov DKI mengganti 100 angkot tua dengan Mikrotrans listrik yang dilengkapi AC, CCTV, dan GPS. Langkah ini menunjukkan bahwa peningkatan standar layanan tidak hanya terjadi pada SDM, tetapi juga pada kualitas armada. (ANTARA – 13 November 2025)

Namun, persoalan tidak sesederhana mengubah armada atau memberi pelatihan. Pada Juli 2024, ratusan sopir Mikrotrans pernah melakukan aksi protes menuntut perbaikan skema gaji karena pendapatan berbasis kilometer dianggap tidak menutup kebutuhan. Ketika tekanan ekonomi tinggi, tuntutan sopir untuk bersikap profesional bisa berbenturan dengan realitas kerja. (Kompas – 30 Juli 2024)

Pengamat transportasi juga menilai bahwa perilaku sopir sering kali dipengaruhi sistem pengawasan yang longgar. Tanpa evaluasi rutin di lapangan, pelatihan hanya menjadi seremonial tanpa perubahan nyata. Diperlukan mekanisme pengawasan digital, audit perilaku berkala, dan sistem insentif yang adil agar sopir merasa dihargai sekaligus diawasi. (VOI – Analisis Pengamat)

Narasi masyarakat tentang “kembali munculnya karakter angkot” yang tidak disiplin menunjukkan bahwa persoalan budaya kerja sopir belum sepenuhnya berubah meski dibungkus skema modern bernama JakLingko. Banyak pengemudi masih membawa pola lama: berhenti sembarangan, berbicara kasar, hingga membalas emosi pengguna jalan lain. Ini adalah persoalan kultur kerja, bukan sekadar kemampuan teknis.

Maka pertanyaan kuncinya: apakah pelatihan ulang cukup untuk mengubah budaya? Pengalaman kota-kota besar dunia menunjukkan bahwa perubahan perilaku sopir hanya terjadi bila pelatihan disertai insentif yang jelas, sanksi tegas, dan kontrol harian yang konsisten.

Kebijakan Pemprov menyediakan pelatihan remedial gratis dan opsi pemindahan rute untuk sopir yang gagal ujian mungkin terdengar humanis, tetapi jika tidak disertai kejelasan evaluasi kinerja, kebijakan tersebut dapat menjadi ruang abu-abu antara pembinaan dan penggantian sistematis. (ANTARA – 13 November 2025)

Meski begitu, langkah DKI menuju reformasi patut dicatat. Pemerintah setidaknya memulai dari titik yang tepat: mengakui adanya masalah serius dan mengambil tindakan terstruktur. Namun, agar perbaikan benar-benar menyentuh akar persoalan, perlu ada perubahan menyeluruh pada model kontrak operator, standar kinerja sopir, serta pengawasan berbasis teknologi.

Pada akhirnya, wajah transportasi publik ditentukan oleh dua hal: kendaraan yang layak dan sopir yang beretika. Perubahan armada saja tidak cukup, dan pelatihan tanpa pengawasan juga tidak memadai. Reformasi JakLingko menjadi ujian besar bagi keberanian pemerintah memperbaiki sistem, bukan hanya kosmetiknya.

Jika pelatihan ulang ini disertai evaluasi berkala, insentif yang realistis, dan budaya disiplin yang ditegakkan secara tegas, Jakarta berpeluang menata ulang standar layanan mikrotrans yang selama ini penuh keluhan. Jika tidak, maka seperti banyak kebijakan lain sebelumnya, reformasi sopir bisa kembali terjebak sebagai rutinitas administratif yang tak menyentuh persoalan sesungguhnya.

Mari Berbagi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *