Ketika KPK Goyah: Negara dan Kepercayaan
SEMARANG [Berlianmedia] – Ketidakpastian penetapan tersangka dalam kasus korupsi kuota haji telah menimbulkan kekecewaan publik yang dalam. Para calon jamaah yang menabung bertahun-tahun demi berangkat ke Tanah Suci kini bukan hanya menanggung beban finansial, tetapi juga beban moral bahwa ibadah suci mereka ikut ternoda oleh praktik korupsi. Lebih menyakitkan lagi, lembaga yang diharapkan menjadi benteng terakhir integritas justru tampak ragu menegakkan keadilan.
Kasus dugaan korupsi kuota haji mencuat karena menyentuh ruang spiritual masyarakat: ibadah yang mestinya menjadi lambang kemurnian niat, kini tercoreng kepentingan politik dan ekonomi. Ketika KPK tak kunjung menetapkan tersangka, kemarahan publik pun meluap. Di berbagai kanal media sosial, muncul seruan bahwa lembaga antikorupsi itu telah kehilangan taring, bahkan berubah menjadi pelindung bagi elite tertentu.
Kemarahan ini memang berakar pada kekecewaan panjang. Sejak revisi Undang Undang KPK pada 2019, lembaga tersebut dinilai kehilangan independensinya. Mekanisme Dewan Pengawas, birokratisasi izin penyadapan, dan rotasi penyidik dianggap memperlambat kerja. Publik merasa lembaga yang dulu disegani kini berubah menjadi institusi yang penuh pertimbangan politik. Mantan pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, pernah mengingatkan bahwa “pelemahan lembaga antikorupsi tidak selalu datang dari luar, tetapi juga bisa tumbuh dari dalam melalui kompromi dan ketakutan.”
Dalam konteks ini, kegamangan KPK dalam menangani kasus besar seperti korupsi kuota haji memperkuat persepsi bahwa lembaga tersebut tak lagi berani menyentuh lingkar kekuasaan. Zainal Arifin Mochtar, pengajar hukum tata negara UGM, menilai bahwa “ketika hukum menjadi alat yang tidak konsisten, publik tidak lagi menunggu hasil, tapi mulai mencari siapa yang dilindungi.” Pandangan ini mencerminkan realitas: publik menilai bukan dari putusan pengadilan, tetapi dari sinyal keberanian lembaga dalam bertindak.
Namun, tudingan bahwa KPK sepenuhnya lumpuh perlu ditempatkan secara proporsional. Proses penyidikan kasus korupsi berskala besar memang kompleks. Banyak saksi yang takut, aliran dana lintas negara, dan tumpang tindih yurisdiksi antara lembaga penegak hukum. Masalahnya bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga keberanian struktural. Tanpa transparansi tentang hambatan dan kemajuan penyelidikan, ruang publik akan terus dipenuhi spekulasi.
Di sinilah pentingnya keterbukaan. KPK perlu menjelaskan perkembangan kasus secara berkala kepada publik tanpa melanggar prinsip kerahasiaan penyidikan. Publik tidak menuntut sensasi, melainkan kepastian bahwa lembaga ini masih bekerja sesuai mandatnya. Langkah sederhana seperti publikasi kronologi, status penelusuran aset, dan alasan penundaan sudah cukup untuk meredam kecurigaan bahwa kasus sengaja dilambatkan.
Selain transparansi, KPK juga perlu memperkuat kapasitas penyidikan. Kerja sama lintas lembaga, penggunaan teknologi forensik keuangan, dan pelatihan integritas bagi pegawai menjadi kebutuhan mendesak. Sebab, tanpa kemampuan teknis yang mumpuni, penyelidikan mudah macet di tengah jalan. Argumen populer bahwa “buktinya sudah jelas” sering kali tidak relevan di ranah hukum, tetapi dengan teknologi dan koordinasi yang baik, bukti yang samar pun bisa dijadikan dasar penindakan.
Reformasi kelembagaan menjadi jalan penting berikutnya. Independensi formal KPK tak boleh hanya tertulis di undang undang, tetapi juga hidup dalam keberanian fungsional aparatnya. Ketika pimpinan lembaga ragu karena tekanan politik, independensi sejati hilang. Karena itu, sistem pengawasan internal harus lebih kuat dan terbuka terhadap evaluasi publik. Tanpa itu, reformasi hanya akan menjadi jargon yang dikutip ulang setiap kali krisis muncul.
Kritik publik terhadap KPK, meski keras, seharusnya tidak dilihat sebagai serangan, melainkan sebagai sinyal peringatan. Dalam demokrasi, suara rakyat yang menuntut transparansi adalah bentuk pengawasan paling jujur. Jika lembaga antikorupsi ingin memulihkan legitimasi, ia harus menjawab kritik dengan kinerja, bukan pembelaan retoris. Seperti diungkap oleh Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, “Kepercayaan publik adalah aset hukum paling berharga. Sekali hilang, tidak bisa dipulihkan hanya dengan klarifikasi.”
Kasus kuota haji seharusnya menjadi momentum bagi KPK untuk membuktikan bahwa semangat pemberantasan korupsi belum mati. Penegakan hukum yang tegas di sektor keagamaan akan mengembalikan keyakinan bahwa lembaga ini masih berpihak pada rakyat kecil, bukan pada lingkaran kuasa. Setiap rupiah yang dikorupsi dari dana haji adalah bentuk pengkhianatan spiritual, dan setiap penundaan penegakan hukumnya adalah bentuk abainya negara terhadap iman rakyatnya sendiri.
Meski kepercayaan publik sedang menurun, peluang pembenahan belum tertutup. KPK bisa memulihkan wibawa dengan tiga langkah utama: membuka progres penyidikan secara transparan, menindak siapa pun tanpa pandang jabatan, dan memperkuat integritas internal. Jika langkah langkah ini dijalankan secara konsisten, maka rasa percaya yang kini tergerus bisa kembali tumbuh.
Pada akhirnya, kepercayaan publik terhadap lembaga hukum adalah fondasi moral negara. Bila ia goyah, hukum kehilangan ruhnya, dan negara kehilangan legitimasi moral untuk menuntut kepatuhan. Karena itu, menegakkan keadilan bukan semata soal menjerat pelaku, tetapi mengembalikan keyakinan bahwa hukum masih berpihak pada kebenaran.
KPK masih punya kesempatan untuk membuktikan dirinya, bukan dengan janji, tetapi dengan keberanian menghadapi siapa pun yang mengkhianati uang, ibadah, dan kepercayaan rakyat. Jika tidak, sejarah akan mencatat bukan hanya para koruptor, tetapi juga mereka yang memilih diam saat keadilan menjerit pelan.








