Cerpen: Ketika Bos Menangis di Balik Senyum Karyawan
SEMARANG [Berlianmedia] – Di mata banyak orang, menjadi bos tampak seperti hidup dalam kemewahan bebas, santai, dan selalu punya uang. Namun, bagi Yanti, pemilik UMKM konveksi kecil di pinggiran kota, posisi itu justru berarti menanggung beban yang tak kasatmata. Antara menjaga usaha tetap hidup dan memastikan para karyawannya bisa makan, ia belajar arti pengorbanan yang sesungguhnya.
Langit sore menggantung pucat ketika Yanti duduk sendiri di ruang kecil belakang toko konveksinya. Mesin jahit sudah berhenti berdengung, para karyawan pulang, dan hanya suara detik jam dinding yang terdengar menusuk sepi. Di hadapannya, tumpukan nota, tagihan listrik, dan slip gaji menatapnya seperti makhluk lapar yang siap melahap ketenangan terakhirnya.
Ia menarik napas panjang. “Gajian besok, tapi saldo tinggal segini,” gumamnya lirih sambil menatap layar ponselnya. Di rekening tinggal dua ratus ribu rupiah. Besok harus membayar upah lima orang karyawan, masing-masing satu juta seratus ribu. Sementara, order bulan ini baru separuh yang dibayar.
Tiba-tiba pikirannya terlempar ke peristiwa sebulan lalu, ketika ia baru saja memecat seorang karyawannya Romi. Anak muda yang selama ini rajin tapi terlalu cerewet soal nasib buruh. “Ngapain kerja rajin-rajinnya? Kita cuma bikin bos makin kaya,” kata Romi suatu sore, didengar oleh rekan-rekannya.
Yanti yang mendengar laporan itu hanya diam. Tapi malamnya ia menangis. Bukan karena sakit hati, melainkan karena benar-benar merasa tak dimengerti.
Menjadi “bos” bukan seperti yang dibayangkan banyak orang. Ia ingat betul awal mula usahanya lima tahun lalu saat menjual mesin jahit pertamanya demi menutup utang bahan baku, saat meminjam uang dari arisan keluarga untuk membayar THR karyawan, saat menjual perhiasan kawin hanya supaya usaha tetap hidup. Romi mungkin tak tahu, malam-malamnya sering dihabiskan dalam kecemasan, bukan di restoran mahal.
Keesokan harinya, Yanti datang lebih pagi dari biasanya. Ia membuka gerbang toko, menyapu halaman, lalu menyalakan semua mesin jahit. Ketika para karyawan datang, ia tersenyum seperti biasa, seolah tak ada beban di punggungnya.
“Pagi, Bu!” sapa Rini, salah satu penjahit yang paling lama bekerja.
“Pagi, Rin. Yuk, semangat ya hari ini,” jawab Yanti sambil menyiapkan lembar kerja pesanan gamis lebaran.
Tapi di dalam hatinya, ia sedang menghitung cara. Satu-satunya aset yang tersisa adalah motor tuanya. Kalau dijual, cukup buat gaji sebulan. Tapi lalu? Bagaimana ia mengirim barang? Bagaimana mengantar bahan?
Siang itu, Yanti menerima pesan dari pemasok kain: “Bu Yanti, kalau mau pesan bahan lagi, tolong lunasi tagihan bulan kemarin dulu ya. Kami butuh kepastian.”
Ia menelan ludah. Belum ada uang, tapi kalau tak pesan bahan, produksi berhenti.
Lalu ia melihat layar komputer akun Shopee-nya. Hatinya mencelos. “Produk tidak ditemukan.”
Ratusan listing gamis dan mukena yang sudah berbulan-bulan ia optimasi hilang seketika. Ia menatap layar kosong itu lama, hingga matanya panas.
Di saat seperti itu, ia ingin menangis. Tapi ia tahu, sore nanti karyawannya akan datang menanyakan gaji. Ia harus tersenyum.
Sore menjelang magrib, seorang kurir datang membawa bungkusan. “Bu, ini paket COD gagal kirim. Pembeli tolak, katanya telat sampai,” ujarnya singkat.
Yanti mengangguk lesu. Itu produk custom, tak bisa dijual ulang. Rugi lagi.
Ia memandangi barang itu. Di luar, suara karyawan pamit satu per satu. “Dulu aku pikir, jadi bos itu enak,” katanya dalam hati. “Padahal, jadi bos artinya rela tak tidur agar orang lain bisa tidur nyenyak.”
Saat malam tiba, Yanti menulis sesuatu di kertas kecil, lalu menempelkannya di tembok ruang kerja:
“Kalau ingin kaya, jadilah karyawan yang bisa dipercaya. Kalau ingin tenang, jangan dulu jadi bos.”
Tulisan itu tak dimaksudkan untuk siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Tapi siapa sangka, keesokan harinya tulisan itu dibaca semua orang, dan menjadi bahan obrolan.
“Bu, tulisan Ibu bagus banget,” kata Rini. “Tapi kenapa kayaknya sedih, ya?”
Yanti hanya tersenyum. “Kadang, untuk terlihat kuat, kita memang harus sembunyikan luka,” jawabnya.
Beberapa minggu berlalu. Usaha sedikit membaik. Ada pesanan besar datang dari toko di luar kota. Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama karena ternyata admin salah kirim alamat. Lima puluh pasang gamis hilang tak tahu ke mana.
Yanti menatap laporan itu sambil menahan napas. Ia tahu, kerugian itu bukan salah siapa-siapa. Tapi karyawan tetap harus digaji. Ia mengeluarkan kalung emas terakhir peninggalan ibunya dan menukarnya di toko emas. Hasilnya cukup untuk menutup lubang bulan ini.
Malam itu, ia pulang ke rumah tanpa perhiasan, tapi dengan hati lega. Suaminya menatapnya bingung.
“Kenapa kamu kelihatan tenang banget, padahal rugi besar?”
Yanti menjawab lirih, “Karena mereka semua masih bisa makan. Itu cukup buatku.”
Beberapa hari kemudian, Rini datang membawa kabar dari Romi, karyawan yang dulu dipecat. “Bu, Romi sekarang buka usaha sendiri. Katanya mau ngasih oleh-oleh, boleh ke sini?”
Yanti terdiam sejenak. Ia tak punya alasan untuk menolak.
Ketika sore, Romi datang dengan pakaian lusuh tapi senyum lebar. “Assalamualaikum, Bu Yanti. Lama nggak ketemu,” sapanya.
“Waalaikumsalam, Rom. Gimana kabar?”
“Alhamdulillah, Bu. Sekarang saya punya usaha kecil juga. Baru jalan sebulan.”
Yanti mengangguk, matanya teduh. “Wah, selamat ya. Gimana rasanya jadi bos sekarang?”
Romi tertawa kecil, lalu tiba-tiba matanya berkaca-kaca. “Rasanya… berat, Bu. Saya baru tahu sekarang, ternyata bos itu bukan cuma mikir keuntungan, tapi mikir gimana caranya semua bisa hidup bareng. Saya minta maaf dulu pernah ngomong seenaknya.”
Yanti menatapnya lama, lalu tersenyum. “Kamu nggak salah waktu itu, Rom. Kamu cuma belum tahu. Sekarang kamu tahu, kan?”
Romi mengangguk, wajahnya menunduk.
Di luar, hujan mulai turun perlahan. Dua orang itu duduk dalam diam, hanya mendengarkan suara hujan yang menetes di atap seng. Yanti menatap ke luar jendela ke arah langit yang kelabu tapi indah dan dalam hatinya ia berkata, “Mungkin inilah bentuk keadilan. Saat yang dulu menilai, kini belajar memahami.”
Beberapa bulan kemudian, Yanti meninggal dunia karena kelelahan dan komplikasi penyakit yang tak pernah sempat ia periksa. Berita itu menyebar cepat di antara para karyawan dan pelanggan. Di rumah duka yang sederhana, di antara kain-kain sisa produksi, Romi berdiri paling depan membawa sebuket bunga kecil. Ia meletakkannya di sisi foto Yanti, lalu berbisik pelan,
“Sekarang aku ngerti, Bu. Bos juga manusia. Dan kadang, bos menangis lebih sering daripada karyawannya.”
Dan di ruang kerja yang kini sunyi, masih tergantung selembar kertas kusam dengan tulisan tangan:
“Kalau ingin kaya, jadilah karyawan yang bisa dipercaya. Kalau ingin tenang, jangan dulu jadi bos.”
Kertas itu mulai menguning, tapi kata-katanya tetap hidup.
Karena di balik setiap senyum karyawan, selalu ada seorang bos yang menanggung badai sendirian.








