Sekolah Rakyat dan Janji Pemerataan: Saat Beton Menyentuh Pikiran

SEMARANG [Berlianmedia] – Setahun pemerintahan Prabowo Subianto Gibran Rakabuming Raka menandai ambisi besar membangun manusia lewat infrastruktur. Melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memulai pembangunan Sekolah Rakyat senilai Rp941,9 miliar. Di balik deru alat berat dan tumpukan beton, tersimpan harapan dan pertanyaan apakah infrastruktur bisa sungguh mencerdaskan bangsa?

Ketika alat berat mulai bekerja di berbagai daerah, gema program Sekolah Rakyat menggema sebagai penanda bahwa pembangunan tidak lagi sekadar membangun jalan dan jembatan, melainkan juga membangun ruang belajar. Kementerian PUPR menegaskan, pembangunan ini adalah wujud nyata kehadiran negara melalui infrastruktur pendidikan yang layak bagi rakyat kecil. Menurut Kompas.com (27 Juni 2025), Inpres Nomor 8 Tahun 2025 menjadi payung hukum bagi pelaksanaan program nasional pengentasan kemiskinan ekstrem lewat pendidikan dasar terpadu dengan fasilitas asrama.

Namun, di balik kebijakan yang tampak ideal itu, terselip tantangan klasik: pemerataan wilayah. Data Media Center Riau (Juli 2025) menunjukkan bahwa kemiskinan ekstrem di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan sebagian wilayah timur seperti Papua dan Kalimantan. Ironisnya, tahap awal pembangunan Sekolah Rakyat justru didominasi oleh Pulau Jawa sebanyak 48 titik dari total 100 lokasi yang direncanakan secara nasional (berkas.dpr.go.id, Juli 2025). Jika pemerataan hanya berhenti di peta rencana, maka yang terbangun bukanlah keadilan, melainkan ketimpangan yang dibungkus proyek.

Konsep besar Sekolah Rakyat sesungguhnya menjanjikan. Ia dirancang sebagai ruang belajar sekaligus rumah bagi anak-anak keluarga miskin yang sulit mengakses pendidikan. Asrama dibangun agar mereka tidak lagi berjalan berjam-jam menembus ladang atau sungai untuk sampai ke sekolah. Dalam konteks ini, infrastruktur menjadi lebih dari sekadar bangunan fisik; ia adalah jembatan menuju kesempatan hidup yang lebih baik. Tetapi seperti diingatkan Tempo.co (4 Juli 2025), tanpa perencanaan jangka panjang dan dukungan SDM yang memadai, sekolah hanya akan menjadi bangunan kosong dengan papan nama penuh janji.

Aspek sumber daya manusia menjadi titik kritis lain. Inpres 8/2025 melibatkan sejumlah kementerian: Kemendikbudristek, Kemenag, Kemensos, dan KemenPANRB. Kompas Nasional (10 April 2025) melaporkan bahwa guru Sekolah Rakyat akan direkrut secara kontrak dengan sistem full time, mengajar lebih dari satu mata pelajaran. Skema ini disebut fleksibel, tetapi juga menyimpan risiko kualitas. Guru kontrak dengan beban kerja ganda berpotensi kehilangan motivasi, sementara tanpa pembinaan dan pelatihan berkelanjutan, kualitas pembelajaran bisa merosot. Infrastruktur boleh baru, tapi semangat pendidik tak boleh rapuh.

Dari sisi investasi, Rp941,9 miliar adalah angka besar. Berkas DPR (Juli 2025) menyebutnya sebagai “investasi manusia dan penghidupan bangsa.” Namun, investasi tidak berakhir saat gedung berdiri; justru di situlah ujian dimulai. Apakah sekolah mendapat pasokan guru yang cukup? Apakah asrama dikelola dengan baik? Apakah anak-anak yang belajar di sana benar-benar naik kelas secara akademis dan sosial? Tanpa evaluasi terukur dan sistem pembiayaan operasional jangka panjang, proyek ini berisiko menjadi monumen pembangunan, bukan mesin perubahan.

Koordinasi lintas sektor menjadi persoalan lain. Menurut Kompas Kilas Kementerian (9 Juli 2025), KemenPANRB menekankan pentingnya penguatan kelembagaan agar Sekolah Rakyat berjalan berkelanjutan. Tetapi di lapangan, tumpang tindih peran antarinstansi sering kali membuat program tersendat. Ada kementerian yang membangun, kementerian lain yang mengelola, namun tidak semua siap memelihara. Tanpa kejelasan tata kelola, pembangunan bisa berhenti di tengah jalan, dan sekolah-sekolah baru bisa cepat rusak sebelum melahirkan lulusan pertamanya.

Pertanyaannya, apakah kerangka pembangunan seperti ini mampu memperkuat pemerataan wilayah dan pertumbuhan SDM secara bersamaan? Dalam prinsipnya, ya. Dengan menempatkan sekolah di kawasan tertinggal, program ini membuka akses pendidikan bagi ribuan anak. Dengan sistem asrama, mereka bisa fokus belajar tanpa beban transportasi atau biaya hidup tinggi. Namun efektivitasnya bergantung pada dua hal: pemerataan lokasi dan kualitas pengelolaan.

Kritikus pendidikan Darmaningtyas dalam Tempo.co (Mei 2025) menilai, keberhasilan pendidikan bukan hanya pada fisik bangunan, tetapi pada “roh” yang menggerakkannya guru yang berdaya, murid yang merdeka, dan lingkungan yang mendukung. Sekolah Rakyat akan gagal bila semangatnya hanya administratif, bukan transformatif. Di sinilah peran pemerintah daerah sangat penting: memastikan sekolah baru menjadi bagian dari ekosistem pembangunan lokal, bukan sekadar proyek pusat yang turun tanpa konteks.

Jika ditinjau dari pendekatan pembangunan manusia, program ini menyentuh dua dimensi penting: kesetaraan dan pemberdayaan. Infrastruktur pendidikan di wilayah tertinggal bukan hanya mengurangi jarak geografis, tetapi juga jarak kesempatan. Namun agar manfaatnya berkelanjutan, perlu lima langkah strategis: pertama, pemetaan wilayah tertinggal dengan kuota wajib di luar Jawa; kedua, pelatihan intensif bagi guru kontrak; ketiga, integrasi sekolah dengan potensi ekonomi lokal; keempat, penganggaran operasional jangka panjang; dan kelima, evaluasi berbasis data tentang capaian pendidikan dan kesejahteraan lulusan.

Dalam konteks inilah, infrastruktur pendidikan harus dimaknai ulang. Ia bukan sekadar deretan bata dan atap, melainkan pondasi bagi generasi baru yang akan memikul masa depan bangsa. Ketika sekolah menjadi ruang pembebasan, bukan sekadar proyek, maka beton itu benar-benar menyentuh pikiran.

Sekolah Rakyat adalah gagasan besar yang lahir dari semangat pemerataan dan pengentasan kemiskinan. Namun pelaksanaannya menuntut ketelitian, komitmen, dan keberanian untuk menolak cara lama dalam membangun pendidikan yang berhenti pada peresmian dan foto di depan gedung baru. Bila kebijakan ini dikelola dengan visi kemanusiaan, maka investasi Rp941,9 miliar bukan hanya membangun sekolah, melainkan menanam harapan di setiap pelosok negeri. Sebab pendidikan sejatinya bukan tentang bangunan yang tinggi, melainkan tentang pikiran yang tercerahkan.

Mari Berbagi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *