Reformasi Rujukan BPJS: Antara Menyelamatkan Nyawa dan Menghemat Anggaran
SEMARANG [Berlianmedia] – Di ruang IGD sebuah rumah sakit kabupaten di Jawa Tengah, seorang pria 56 tahun mengembuskan napas terakhir sebelum surat rujukan ketiga diterbitkan. “Keburu wafat,” lirih istrinya. Cerita seperti itu bukan anekdot itulah alasan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bertekad mengubah sistem rujukan BPJS Kesehatan agar berbasis kompetensi, bukan sekadar berjenjang birokratis.
Ketika Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, “Tidak usah rujuk tiga kali, keburu wafat nanti dia,” kalimat itu menggema di ruang publik sebagai kritik tajam terhadap sistem rujukan berjenjang yang berlaku saat ini. Sistem yang semula dirancang untuk menata layanan kesehatan sesuai tingkat kemampuan fasilitas, kini justru menjadi belenggu birokrasi yang memperlambat penyelamatan nyawa.
Dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Kamis (13/11/2025), Menkes menegaskan niat pemerintah untuk mengubah mekanisme rujukan pasien BPJS dari sistem berjenjang menjadi berbasis kompetensi. “Kita akan ubah rujukannya berbasis kompetensi, supaya menghemat BPJS juga,” ujarnya sebagaimana dikutip Antara (13/11/2025). Artinya, pasien dengan kondisi tertentu dapat langsung dirujuk ke rumah sakit yang memiliki peralatan dan tenaga medis memadai tanpa harus melewati jalur panjang dari puskesmas ke RS tipe C, tipe B, dan akhirnya tipe A.
Kebijakan ini didorong oleh fakta lapangan: banyak pasien kehilangan waktu berharga karena harus menunggu rujukan berlapis. Di beberapa daerah, sistem digital rujukan BPJS pun masih sering bermasalah, membuat pasien harus bolak-balik antara fasilitas kesehatan hanya untuk mendapatkan persetujuan administrasi. Dalam kasus-kasus darurat seperti serangan jantung atau stroke, setiap menit yang terbuang bisa berarti kehilangan nyawa.
Sistem lama sejatinya dibuat untuk menegakkan fungsi berjenjang layanan kesehatan. Puskesmas menjadi pintu masuk, RS tipe C dan B sebagai rujukan menengah, dan RS tipe A menangani kasus berat atau langka. Namun idealisme sistem itu kerap tak sejalan dengan realitas lapangan. “Banyak pasien gawat darurat akhirnya tetap dikirim berjenjang karena prosedur BPJS yang mengikat,” ujar seorang dokter IGD RS tipe B di Yogyakarta. “Padahal kami tahu, pasien ini seharusnya langsung ke tipe A. Tapi aturan administratif lebih dulu dari kebutuhan medis.”
Selain memperlambat penanganan, sistem lama juga menambah beban finansial. Setiap tahapan rujukan berarti klaim biaya baru ke BPJS. Menkes menyebut, dengan sistem berbasis kompetensi, “BPJS tidak usah keluar uang tiga kali, tapi sekali saja, langsung ke yang paling atas.” (Antara, 13/11/2025). Pernyataan ini menggarisbawahi upaya efisiensi anggaran publik di tengah meningkatnya beban klaim kesehatan nasional.
Namun reformasi sebesar ini tentu tidak tanpa tantangan. Persoalan pertama adalah validitas diagnosis awal. Bagaimana memastikan puskesmas atau RS kecil mampu menilai dengan akurat ke mana pasien harus dirujuk? Tanpa sistem informasi dan kompetensi yang kuat, potensi kesalahan rujukan bisa meningkat. Jika semua pasien merasa “berhak” langsung ke RS tipe A, maka rumah sakit besar bisa kewalahan menerima limpahan pasien tanpa penyaringan yang tepat.
Tantangan berikutnya adalah kesenjangan geografis dan infrastruktur. Di daerah-daerah terpencil, akses ke RS tipe A masih terbatas. Sistem berbasis kompetensi membutuhkan dukungan logistik dan transportasi medis yang memadai. Tanpa itu, reformasi ini hanya akan menguntungkan wilayah urban, sementara masyarakat pedalaman tetap tertinggal dalam antrean panjang.
Dari sisi tenaga medis, kebijakan ini juga menuntut kejelasan peran. Dokter di fasilitas tingkat pertama bisa merasa kehilangan otonomi klinis jika semua kasus berat langsung dialihkan ke rumah sakit besar. Padahal, sistem kesehatan primer adalah pondasi pelayanan nasional. “Jangan sampai reformasi ini hanya memindahkan masalah dari bawah ke atas,” kata seorang anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang dimintai tanggapan. “Yang harus dibenahi bukan hanya rujukannya, tapi juga kualitas diagnosis di tingkat dasar.”
Meski demikian, gagasan reformasi ini tetap mendapat dukungan dari banyak kalangan pasien. Keluhan umum selama ini adalah proses rujukan yang berbelit-belit. Seorang peserta BPJS di Purworejo menceritakan pengalamannya: “Dari kampung dapat rujukan ke RS kabupaten, katanya alatnya tidak ada, disuruh ke RS provinsi. Sampai sana, suruh balik minta rujukan baru. Akhirnya, penyakit saya makin parah.” Cerita semacam itu memperlihatkan bahwa sistem berjenjang sering kali kehilangan sisi kemanusiaan.
Secara kebijakan, rencana perubahan ini masih dalam tahap penyusunan regulasi teknis. Permenkes tentang sistem rujukan baru disebut sedang diformulasikan, agar implementasinya jelas dan terukur. “Kita ingin pasien mendapat pelayanan sesuai kebutuhan medisnya, bukan sesuai urutan administratif,” ujar Menkes dalam forum yang sama (Antara, 13/11/2025).
Namun, agar reformasi ini tak berhenti di wacana, Kemenkes perlu menyiapkan fondasi kuat: sistem informasi kesehatan yang terintegrasi, pelatihan tenaga medis primer, serta mekanisme kontrol yang mencegah penyalahgunaan rujukan langsung. Evaluasi berbasis data harus dilakukan berapa lama waktu rujukan sebelum dan sesudah reformasi, seberapa besar penghematan BPJS, dan bagaimana dampaknya terhadap tingkat keselamatan pasien. Tanpa ukuran objektif, perubahan besar ini berisiko menjadi sekadar slogan birokrasi.
Reformasi rujukan BPJS adalah cermin besar sistem kesehatan Indonesia. Apakah negara lebih berpihak pada efisiensi anggaran atau pada kecepatan penyelamatan nyawa? Idealnya, keduanya bisa berjalan seiring: efisien sekaligus manusiawi. Namun sejarah kebijakan publik sering kali menunjukkan bahwa di antara angka-angka efisiensi, nasib manusia kerap terselip di bawah tanda tangan pejabat dan formulir rujukan.
Karena pada akhirnya, dalam urusan kesehatan publik, waktu adalah garis tipis antara hidup dan kehilangan. Dan sistem yang baik seharusnya memastikan garis itu tidak terputus hanya karena sebuah stempel administratif.








