Negara Rugi Ratusan Triliun, Bandarnya Tetap Tertawa

SEMARANG [Berlianmedia] – Ketika Presiden Prabowo Subianto mengungkap negara rugi Rp133 triliun akibat judi online, publik tidak hanya kaget oleh angkanya, tetapi juga oleh sindiran tajam Susi Pudjiastuti: “Panggil bandarnya, Pak.” Kalimat pendek itu seakan membongkar akar persoalan: lemahnya penegakan hukum, pembiaran sistemik, dan kepentingan politik yang membungkus kejahatan digital.

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa negara mengalami kerugian hingga Rp133 triliun per tahun akibat judi online mengejutkan banyak pihak. Angka fantastis itu disampaikan dalam rapat terbatas di Istana Negara dan menjadi alarm bagi semua lembaga penegak hukum untuk bergerak serius menertibkan kejahatan digital yang semakin masif (CNN Indonesia, 6 November 2025).

Namun di tengah kegaduhan itu, suara lain mencuri perhatian. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, menyindir dengan kalimat pendek di akun media sosialnya: “Panggil bandarnya, Pak.” Ucapan ini menjadi simbol kemarahan publik terhadap pola penegakan hukum yang kerap tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kritik Susi terasa menyentuh inti persoalan: mengapa yang ditangkap selalu pemain kecil, sementara pengendali besar justru tak tersentuh (Kompas.com, 7 November 2025).

Dalam beberapa tahun terakhir, ratusan kasus judi online telah diungkap aparat, namun sebagian besar pelakunya hanya level pengguna atau operator kecil. Padahal, rantai industri ini sangat panjang: dari bandar utama, penyedia server, pengelola situs, hingga jaringan penagih dan promotor. Sayangnya, sebagian besar pemberantasan hanya berhenti pada lapisan bawah, tanpa menyentuh aktor kunci yang mengendalikan aliran uang (Tempo.co, 6 November 2025).

Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri sebenarnya telah menindak ribuan situs judi daring dan menangkap lebih dari 5.000 tersangka selama 2024–2025. Namun laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) justru menunjukkan transaksi mencurigakan senilai lebih dari Rp300 triliun terkait aktivitas judi digital, menandakan bahwa sindikat ini masih hidup subur dan beradaptasi lebih cepat dibanding penegakan hukumnya (Detik.com, 5 November 2025).

Kenyataan itu menguatkan pandangan publik bahwa sebagian jaringan judi online justru beroperasi di bawah lindungan oknum aparat atau elite politik. Dalam beberapa kasus, tersangka bahkan menyebut nama-nama berpengaruh yang belum tersentuh hukum. Situasi ini menimbulkan persepsi bahwa negara seperti berpura-pura sibuk, tapi sesungguhnya enggan menindak para pelindung di balik layar (Tirto.id, 7 November 2025).

Susi Pudjiastuti, dengan karakter lugasnya, memotret persoalan itu dalam satu kalimat yang menohok. “Panggil bandarnya” bukan sekadar sindiran kepada presiden, melainkan desakan agar penegakan hukum tidak lagi bersandar pada pencitraan. Kritik publik pun menggema: “Kalau Bu Susi yang jadi menteri, bandarnya pasti ditenggelamkan.” Kalimat satir ini menunjukkan kerinduan rakyat terhadap sosok pejabat yang tegas dan berani menantang sistem yang korup (Merdeka.com, 7 November 2025).

Persoalan judi online tidak semata soal moral dan kriminalitas. Ia telah menjadi masalah ekonomi nasional. Triliunan rupiah uang rakyat berputar di sirkulasi gelap, menguap tanpa kontribusi pada pajak atau produktivitas ekonomi. Uang digital hasil judi tidak kembali ke pasar riil, melainkan mengalir ke luar negeri melalui crypto exchange atau rekening perantara. Ini membuat negara kehilangan potensi pajak dan mengancam stabilitas ekonomi digital (Liputan6.com, 6 November 2025).

Di balik masalah itu, pemerintah sebenarnya sudah melakukan sejumlah langkah, seperti membentuk Satgas Pemberantasan Judi Online yang dipimpin Menko Polhukam dan Menkominfo. Namun langkah ini dianggap belum menyentuh akar persoalan, karena belum ada penindakan serius terhadap pelindung bisnis ilegal tersebut. Kominfo telah memblokir lebih dari 2 juta situs, tapi blokir itu seperti permainan kucing dan tikus hilang satu, muncul seribu (Kompas.id, 7 November 2025).

Kelemahan terbesar penegakan hukum terletak pada kurangnya koordinasi antar lembaga. Bareskrim, Kominfo, PPATK, dan OJK sering bekerja terpisah, tanpa mekanisme integrasi data transaksi digital yang efisien. Akibatnya, aliran uang ilegal tetap mengalir tanpa terdeteksi. Jika pemerintah ingin serius, langkah pertama adalah membentuk sistem pengawasan lintas lembaga dengan dukungan teknologi real-time tracing dan akses penuh terhadap rekening mencurigakan (The Jakarta Post, 5 November 2025).

Beberapa pengamat ekonomi menilai, jika negara benar-benar kehilangan Rp133 triliun per tahun, maka potensi kerugian itu setara dengan biaya pembangunan ribuan sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur publik. Ironisnya, di tengah kerugian besar itu, sebagian pihak justru mengaitkan aliran dana judi online dengan pembiayaan politik, terutama pada masa kampanye. Dugaan ini membuat publik pesimis bahwa penindakan akan berjalan adil (CNN Indonesia, 6 November 2025).

Sementara itu, pihak Istana melalui Sekretaris Kabinet menyebut pemerintah sedang menyiapkan langkah hukum lebih kuat untuk menjerat pelaku judi online lintas negara. Pemerintah juga mengkaji kerja sama dengan Interpol dan lembaga keuangan digital agar pelacakan aset lebih mudah. Namun publik menilai, langkah ini baru bisa dianggap serius jika pemerintah berani menyentuh para pelindung di lingkar kekuasaan sendiri (Republika.co.id, 8 November 2025).

Kritik Susi Pudjiastuti dan suara publik yang mengikutinya adalah bentuk kepedulian terhadap integritas hukum di negeri ini. Judi online hanyalah gejala dari penyakit yang lebih dalam: kompromi moral dalam kekuasaan. Selama keberanian politik belum lahir dari puncak pemerintahan, kerugian bukan hanya soal triliunan rupiah, tapi juga hilangnya kepercayaan rakyat pada negara yang seharusnya melindunginya.

Kini pertanyaannya bukan sekadar apakah Presiden Prabowo berani memanggil bandarnya, melainkan apakah bangsa ini masih memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Sebab selama bandarnya tetap tertawa dan rakyat hanya menjadi korban, maka kerugian terbesar bukan uang yang hilang, melainkan marwah hukum yang runtuh di depan mata bangsa sendiri.

Mari Berbagi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *