Memaknai Peringatan Hari Kesaktian Pancasila
SEMARANG[Berlianmedia] – Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini merupakan pengingat sejarah sekaligus refleksi akan peristiwa kelam bangsa pada tahun 1965. Saat itu, ideologi Pancasila menghadapi rongrongan yang mengancam keutuhan bangsa. Namun, berkat kesadaran kolektif seluruh elemen, Pancasila tetap berdiri tegak sebagai dasar negara dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
Peringatan ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan momentum untuk mengingat kembali bahwa Pancasila adalah ideologi final yang mampu menyatukan keragaman Indonesia. Ia lahir dari semangat kompromi, kebijaksanaan, serta jiwa besar para pendiri bangsa yang menyadari betapa luasnya perbedaan suku, agama, budaya, dan pandangan hidup di negeri ini. Tanpa Pancasila, Indonesia mungkin tidak akan pernah menjadi bangsa yang utuh.
Dalam konteks sejarah, kesaktian Pancasila terbukti ketika berbagai upaya ideologi transnasional dan gerakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan gagal menggoyahkan fondasi negara. Pancasila tetap menjadi benteng yang menjaga keberlangsungan Republik Indonesia. Hal ini menegaskan bahwa Pancasila bukan hanya dokumen normatif, melainkan kekuatan hidup yang mengakar di tengah masyarakat.
Namun, tantangan zaman kini jauh lebih kompleks. Ancaman terhadap Pancasila tidak lagi berbentuk pemberontakan fisik, melainkan hadir melalui polarisasi sosial, penyebaran paham intoleran, maraknya ujaran kebencian, hingga degradasi moral akibat arus globalisasi dan perkembangan teknologi digital. Jika tidak diantisipasi, semua itu berpotensi melemahkan persatuan dan keadaban bangsa.
Di sinilah pentingnya memperkuat aktualisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Nilai ketuhanan menuntun bangsa untuk senantiasa beriman dan berakhlak mulia, nilai kemanusiaan mengajarkan penghormatan terhadap martabat manusia, nilai persatuan meneguhkan keutuhan bangsa, nilai kerakyatan menumbuhkan musyawarah dan demokrasi yang sehat, sementara nilai keadilan sosial mendorong pemerataan pembangunan dan kesejahteraan.
Pancasila sejatinya bukan hanya untuk dihafalkan, melainkan untuk dipraktikkan. Masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, harus terus diajak memahami Pancasila sebagai identitas dan panduan dalam bersikap di tengah arus perubahan. Pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Pancasila harus diperkuat agar tidak sekadar menjadi wacana, tetapi melekat dalam perilaku generasi penerus bangsa.
Selain itu, para pemimpin bangsa juga memiliki tanggung jawab moral untuk mencontohkan praktik nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan maupun tindakan nyata. Keteladanan pemimpin yang menjunjung tinggi keadilan, keberpihakan pada rakyat, serta sikap demokratis akan menjadi teladan kuat bagi masyarakat luas. Pancasila harus hidup bukan hanya di ruang pendidikan, melainkan juga dalam tata kelola pemerintahan, ekonomi, hukum, hingga kehidupan sosial politik.
Momentum Hari Kesaktian Pancasila juga harus dimaknai sebagai kesempatan memperkuat persatuan nasional. Perbedaan pandangan politik, agama, budaya, maupun status sosial tidak boleh memecah belah bangsa. Justru, dengan Pancasila, perbedaan itu dapat menjadi kekuatan untuk membangun Indonesia yang inklusif, adil, dan sejahtera.
Oleh karena itu, refleksi atas Hari Kesaktian Pancasila hendaknya menjadi panggilan moral bagi seluruh elemen bangsa untuk menjaga dan merawat ideologi negara ini. Pancasila terbukti sakti bukan karena retorika, tetapi karena kesetiaan rakyat Indonesia yang terus menghidupkannya dalam praktik kehidupan.
Dengan menjadikan Pancasila sebagai kompas moral dan pedoman bersama, bangsa Indonesia akan tetap teguh menghadapi berbagai tantangan zaman. Kesaktian Pancasila adalah kesaktian persatuan bangsa, dan selama Pancasila dihayati serta diamalkan, Indonesia akan terus berdiri kokoh sebagai negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.