Mbah Guno Astagina: Hidup Perlu Keseimbangan, Manusia Perlu Pulang ke Hakikatnya

SEMARANG [Berlianmedia] – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat, Mbah Guno Astagina mengingatkan, bahwa manusia sejatinya hanya membutuhkan satu hal untuk menemukan ketenangan: keseimbangan.

Bukan sekadar keseimbangan antara pekerjaan dan istirahat, tetapi keseimbangan yang lebih dalam, yaitu antara lahir dan batin, antara dunia dan akhirat, antara ambisi dan keikhlasan.

Baginya, manusia kerap terseret oleh arus kesibukan hingga lupa pada hakikat penciptaannya. “Sesungguhnya peran manusia di dunia ini hanyalah sebagai abdi, sebagai hamba Allah SWT,” ujar Mbah Guno dengan suara pelan namun tegas.

“Tugas kita adalah ngibadah lan manembah, berbakti dan kembali pada-Nya dalam segala bentuk pengabdian,” imbuhnya menegaskan

Pesan itu ia tekankan dengan merujuk pada Al-Qur’an Surat Az-Zariyat ayat 56:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”

Dalam pandangan tokoh kasepuhan yang dikenal bijaksana ini, ayat tersebut bukan hanya perintah, tetapi juga pengingat, bahwa manusia akan tersesat bila keseimbangan spiritualnya tercerabut. Kehidupan yang hanya digerakkan oleh kepentingan duniawi lambat laun membuat batin kering, hati gelisah dan langkah kehilangan arah.

Unsur Keseimbangan Manusia dan Manusia hanya Menyembah Manembah.

“Kesibukan itu boleh, bekerja keras itu wajib, tapi jangan pernah biarkan jiwa kosong,” pesannya. “Kalau manusia lupa menengok ke dalam dirinya, ia akan kehilangan pegangan. Padahal hidup ini butuh tata, butuh harmoni, supaya tidak mudah goyah.”

Sebagai seorang yang sering diminta pendapat dan pandangan hidup oleh masyarakat sekitar, Mbah Guno selalu mengingatkan, bahwa keseimbangan bukan sesuatu yang harus dicari jauh. Ia justru ada dalam rutinitas sederhana, meluangkan waktu untuk berdoa, menjaga akhlak, menghormati sesama serta menyelaraskan langkah dengan nilai-nilai kemanusiaan dan selalu berbagai kepada sesama manusia.

Nasehat itu mengalir sebagai pengingat lembut, bahwa hidup bukan sekadar tentang mengejar capaian, melainkan juga tentang merawat jiwa. Dalam suasana Semarang yang semakin ramai dan dinamis, petuah Mbah Guno terasa seperti oase, mengajak setiap orang untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan kembali kepada hakikat keberadaan.

“Sing penting eling,” pesannya mengingatkan. “Selama manusia ingat kepada Gusti Allah, hidup akan selalu menemukan jalannya.”

Perlu Selaras dengan Sedulur Papat Lima Pancer

Bukan hanya keseimbangan lahir dan batin, tetapi juga keselarasan manusia dengan sedulur papat lima pancer, sebuah ajaran tua yang menjadi akar kearifan Jawa tentang jati diri manusia, perlu juga diperhatikan dan dipahami lebih lanjut.

Menurut Mbah Guno, manusia sering terseret ambisi duniawi hingga lupa, bahwa dirinya tidak pernah berjalan sendirian. Ada empat unsur diri yang selalu menyertai dan satu pusat yang menjadi penuntun, yaitu kiblat papat, kelimo pancer.

Peran Al-Qur’an Surat Az-Zariyat ayat 56.

“Sedulur papat itu bagian dari kita,” ingatnya lembut. “Mereka adalah penjaga, pengingat dan penyeimbang. Dan pancer itu ya kita sendiri, sang diri sejati, sebagai pusat kesadaran yang terhubung pada Gusti Allah.”

Mbah Guno juga menggambarkan, bahwa hidup baru dapat berjalan harmonis ketika manusia mampu menyelaraskan hubungan dengan empat “saudara” yang melambangkan unsur kehidupan, yakni api, air, angin, bumi atau tanah dan bisa dikatakan sebagai simbol lahirnya manusia, sejak kandungan hingga terjun ke alam dunia. Keempatnya menjelma sebagai kekuatan batin, yang mempengaruhi emosi, akal, keberanian dan ketenangan.

“Itu yang biasa disebut dengan Jagad Gede (Bumi Besar) dan Jagad Cilik (Bumi Kecil). Karena sama-sama memiliki unsur api, air, angin dan tanah. Angin kita ada nafas atau udara, air ditubuh kita ada darah, lalu tanah berupa kulit manusia,” ungkap Mbah Guno.

“Kehilangan keseimbangan dengan sedulur papat itu seperti pohon yang akarnya putus,” ujar Mbah Guno. “Manusia jadi gampang goyah, gampang marah, gampang takut. Sebab pancer-nya atau pusat jiwanya, tidak lagi tegak.”

Ketika manusia hidup hanya ditugaskan untuk menjalankan ibadah lahiriah, maka akan semakin kuat jika dipadukan dengan falsafah sedulur papat lima pancer.

Karena ibadah, kata Mbah Guno, bukan sekadar ritual, sebab merupakan perjalanan untuk menyinergikan dunia lahir dengan jagad batin. Ketika pancer atau diri sejati menyatu dengan empat penjaganya, maka manusia akan menemukan ketenangan, kejernihan dan arah hidup yang kokoh.

“Yang membuat hidup berat itu bukan masalah, tapi karena kita jauh dari pusat diri,” jelasnya. “Kalau sedulur papat kita ajak rukun, hidup jadi luwih tentrem. Ibadah pun jadi ringan, bukan beban.”

“Eling lan waspada,” pesannya mengingatkan.
“Selama manusia menyatu dengan sedulur papat lima pancer dan tetap ingat Gusti Allah, langkahnya insyaAllah ora bakal kesasar dan akan selalu menemukan jalannya,” pungkasnya.

Caption : Unsur Keseimbangan Manusia dan Manusia hanya Menyembah Manembah.

Mari Berbagi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *