SPRI Akan Sosialisasi Keberadaannya ke Berbagai Lembaga Pemerintah

SEMARANG [Berlianmedia]- Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) akan mulai melakukan sosialisasi keberadaannya, ke beberapa lembaga pemerintah daerah maupun lembaga swasta, sebagai organisasi pers dan wartawan, yang juga memiliki badan hukum resmi, yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.

Hal itu diungkapkan oleh Sriyanto Ahmad, Ketua Umum SPRI usai temu kader dan silaturahmi pengurus dan anggota SPRI Jawa Tengah di Cafe Popo, Jalan Branjangan No 10, Kota Lama, Semarang, Sabtu (25/5).

“Kita sudah melakukan peningkatan kualitas wartawan, oleh sebab itu kita akan melakukan class action, dengan cara SPRI dan media-media yang tergabung untuk bertemu dengan Forkompinda untuk menagih janji,” jelasnya.

Oleh sebab itu, lanjut Sriyanto, dengan class action tersebut merupakan langkah atau upaya untuk membangun sinergitas dengan pihak-pihak terkait, agar tidak terkesan adanya diskriminasi terhadap organisasi pers atau wartawan.

Dikatakan pula terkait kompetensi jurnalistik, sebenarnya selama ini SPRI juga sudah melakukan peningkatan kualitas wartawan dalam hal mekanisme penggalian informasi di masyarakat sesuai kode etik jurnalistik, sesuai peraturan dan undang-undang yang ada, karena memang dalam hal peningkatan kompetensi menjadi hak organisasi profesi.

“Persoalannya sebetulnya begini, kalau di Undang-undang pers itu, sebetulnya ranah kompetensi jurnalistik itu menjadi hak organisasi pers. Jadi kalau yang namanya Dewan Pers itu fasilitator, memfasilitasi kepada organisasi pers untuk mendidik seorang wartawan atau jurnalis untuk meningkatkan kompetensi. Melalui jalur yang resmi dan normatif, salah satunya lembaga resmi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi),” jelasnya.

Jadi sebenarnya, imbuh Sriyanto, kalau terjadi dualisme saling menilai ilegal padahal sama-sama resmi dan sah semua sesuai peraturan perundang-undangan, maka ya tetap tidak ada penyelesaiannya, maka dari itu langkah SPRI akan terus melakukan sosialisasi untuk lebih mengenalkan kepada masyarakat, terkait keberadaan kompetensi jurnalistik yang berhubungan dengan BNSP.

“Tetapi jika berhubungan dengan kompetensi jurnalistik itu sebenarnya sudah tidak ada persoalan, sepanjang itu sudah masuk di regulasi nasional. Kecuali sengketa itu sudah single bar, itu nanti masuk muara akhirnya di Dewan Pers, itu audah diakui di MA (Mahkamah Agung), beda jika kemudian terkait aturan kode etik dikembalikan kembali kepada organisasi pers masing-masing,” paparnya.

Menyoroti revisi UU Penyiaran, terkait pelarangan Jurnalis atau Wartawan melakukan investigasi, Sriyanto menyatakan, bahwa itu tidak sesuai dengan semangat demokrasi pers dan bahkan cenderung mengebiri kemerderdekaan pers dalam memberikan informasi yang independen kepada masyarakat.

“Menurut kami ini sebetulnya tidak sesuai dengan muara demokrasi dan kemerdekaan pers. Karena yang namanya investigasi itu sebetulnya adalah menggali sebuah informasi, keamudian diolah dalam sebuah narasi berita dan dikembalikan informasi itu kepada masyarakat. Jadi itu mungkin hanya perbedaan pemahaman,” tuturnya.

Walaupun begitu, diakui oleh Sriyanto, memang ada beberapa informasi yang dikecualikan yang tidak diperbolehkan dipiblikasikan, sesuai dengan UU Informasi publik.

“Seperti di UU Pers di pasal 6 itukan disebutkan masyarakat berhak tahu. Jadi di pers itukan bagaimana menggunakan informasi yang diperoleh itu untuk kepentingan publik. Memang ada hal-hal tertentu informasi yang dikecualikan, yang tidak diperbolehkan diungkap ke publik (masyarakat),” ungkapnya.

Mari Berbagi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *