Merangkaikan Fitnah atau Pencarian Kebenaran Publik

SEMARANG [Berlianmedia] – Publik kembali dihadapkan pada pusaran kontroversi yang menempatkan ranah hukum dan politik dalam satu pusaran wacana panas. Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo, tengah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka terkait dugaan penyebaran berita bohong soal ijazah Presiden Joko Widodo. Kasus ini menarik perhatian luas bukan hanya karena figur yang terlibat, tetapi juga karena pertanyaannya menyentuh inti dari demokrasi itu sendiri: apakah ini bentuk fitnah, ataukah bagian dari pencarian kebenaran publik yang sah dalam negara hukum?

Dalam sistem demokrasi, ruang publik idealnya menjadi wadah bagi pertukaran gagasan, kritik, dan pengawasan terhadap kekuasaan. Namun, garis batas antara kritik yang sah dan fitnah yang berpotensi merusak reputasi sering kali menjadi kabur. Terlebih, di era digital di mana opini dapat viral dalam hitungan detik, publikasi tanpa verifikasi mudah menjelma menjadi “kebenaran semu” yang berumur panjang.

Kasus Roy Suryo memperlihatkan betapa sensitifnya isu yang menyangkut keaslian dokumen pribadi pejabat tinggi negara. Isu ini bukan hal baru sebelumnya, berbagai pihak juga pernah mempersoalkan keaslian ijazah Presiden, dan selalu berujung pada klarifikasi hukum yang menegaskan bahwa ijazah tersebut asli dan sah. Meski begitu, sebagian kalangan masih meragukan, sementara yang lain menilai isu ini hanyalah upaya politik untuk menggiring opini publik menjelang momentum elektoral.

Usai menjalani pemeriksaan intensif selama sembilan jam di Polda Metro Jaya, Roy Suryo beserta sejumlah pihak yang turut dilaporkan diperbolehkan pulang dan kembali ke rumah masing-masing. Pihak kepolisian, dalam hal ini, juga memberikan kesempatan bagi Roy Suryo cs untuk menghadirkan saksi-saksi yang meringankan dari pihak mereka. Langkah ini menunjukkan bahwa proses hukum masih terbuka dan memberikan ruang pembelaan yang proporsional, sesuai prinsip due process of law. Dalam konteks ini, penting untuk menegaskan bahwa status tersangka bukanlah vonis bersalah melainkan tahapan hukum yang menuntut kehati-hatian publik dalam menilai.

Masalahnya, jika pencarian kebenaran dilakukan dengan cara yang tidak memenuhi prinsip kehati-hatian, ia justru bisa melahirkan efek bumerang. Fitnah yang tersebar di ruang publik dapat menjadi senjata yang lebih berbahaya daripada kritik rasional. Dalam konteks hukum, kebebasan berpendapat bukan berarti kebebasan tanpa batas. Ada tanggung jawab etis dan moral untuk memastikan bahwa informasi yang disebarluaskan berbasis bukti dan dapat dipertanggungjawabkan.

Namun demikian, bukan berarti setiap kritik terhadap pejabat publik harus ditafsirkan sebagai serangan atau kebencian. Demokrasi tumbuh subur justru karena adanya keberanian warga untuk bertanya dan menggugat. Yang menjadi persoalan utama adalah cara dan niat di balik penyampaian kritik itu. Bila disertai data dan niat mencari kebenaran, itu bagian dari kontrol publik yang sehat. Tetapi jika motivasinya adalah sensasi, dendam politik, atau kepentingan partisan, maka substansinya bergeser menjadi fitnah.

Dalam kerangka etika komunikasi publik, para tokoh dan pengguna media sosial memiliki tanggung jawab yang besar. Apalagi ketika mereka memiliki pengaruh besar terhadap opini masyarakat. Satu unggahan bisa menggiring jutaan persepsi. Karena itu, kehati-hatian dan kejujuran menjadi nilai yang tak bisa ditawar dalam komunikasi publik modern.

Kita juga tidak boleh menutup mata bahwa aparat penegak hukum perlu menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak berekspresi. Penyidikan terhadap kasus seperti ini harus dilakukan secara transparan, proporsional, dan berkeadilan agar tidak menimbulkan kesan bahwa hukum dipakai sebagai alat pembungkam kritik. Negara hukum yang sehat ditandai oleh keberanian warganya untuk bertanya, serta kesiapan pemerintahnya untuk menjawab dengan bukti, bukan amarah.

Pada akhirnya, publik berhak mencari kebenaran. Tetapi kebenaran itu tidak akan lahir dari prasangka atau emosi. Ia hanya bisa ditemukan lewat kejujuran, bukti, dan niat tulus memperbaiki kehidupan bersama. Di tengah derasnya arus informasi yang sering kali liar, kita semua perlu menegakkan akal sehat dan integritas moral sebagai benteng terakhir dari kewarasan demokrasi.

Apakah yang sedang kita saksikan hari ini adalah upaya merangkai fitnah, atau langkah menuju kebenaran publik yang sesungguhnya? Jawaban itu bergantung pada sejauh mana kita menempatkan kebenaran di atas kepentingan pribadi dan politik.

Mari Berbagi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *