Luka di Balik Janji
SEMARANG[Berlianmedia] – Matahari pagi menyembul perlahan di ufuk timur, menyinari desa kecil yang terletak jauh dari hiruk-pikuk kota. Udara sejuk menyelimuti Desa Harapan, sebuah tempat yang menjadi rumah bagi masyarakat sederhana yang hidup dengan kedamaian. Di sebuah rumah bercat kusam namun penuh kehangatan, Pak Herman, seorang pensiunan guru berusia 68 tahun, sedang mempersiapkan diri untuk pergi ke puskesmas. Rutinitas itu telah menjadi bagian dari hidupnya sejak didiagnosis menderita diabetes dan hipertensi sepuluh tahun lalu.
Pak Herman adalah salah satu peserta setia Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis). Program itu menjadi penyelamat bagi kehidupannya. Dengan Prolanis, ia rutin mendapatkan pemeriksaan kesehatan, berkonsultasi dengan dokter keluarga, dan memperoleh obat-obatan yang dibutuhkan dari apotek mitra BPJS Kesehatan. Kehidupan yang dulunya terasa berat akibat penyakit kronis kini menjadi lebih tertata.
Namun, pagi itu, ada keresahan yang menyelimuti pikiran Pak Herman. Beberapa hari sebelumnya, ia mendengar kabar bahwa aturan baru BPJS Kesehatan menyebutkan bahwa peserta Prolanis yang meminta rujukan untuk berobat ke rumah sakit (dokter spesialis) akan kehilangan hak mendapatkan obat dari program Prolanis. Hal itu membuat Pak Herman cemas, mengingat ia sudah sangat bergantung pada kemudahan mendapatkan obat dari Prolanis.
Pak Herman tiba di puskesmas dengan langkah gontai. Di ruang tunggu, ia melihat beberapa rekannya sesama peserta Prolanis. Wajah mereka mencerminkan kegelisahan yang sama.
“Ibu Siti, apakah Ibu sudah mendengar tentang perubahan aturan BPJS?” tanya Pak Herman.
Bu Siti, seorang janda berusia 70 tahun yang juga menderita hipertensi, mengangguk. “Sudah, Pak Herman. Saya bingung bagaimana nanti mendapatkan obat. Selama ini dokter keluarga kita sudah sangat memahami kondisi kita,” jawabnya.
Percakapan mereka terhenti saat Dr. Rina, dokter keluarga yang sudah lebih dari dua dekade melayani pasien Prolanis di desa itu, keluar dari ruangannya. Wajah Dr. Rina tampak serius. Ia memanggil Pak Herman dan yang lainnya untuk masuk.
Di dalam ruangan, suasana hening. Dr. Rina membuka pembicaraan dengan nada pelan namun tegas. “Pak Herman, Bu Siti, dan semuanya, saya ingin menjelaskan perubahan yang terjadi. Jika ada peserta Prolanis yang meminta rujukan ke rumah sakit untuk berobat ke dokter spesialis, maka jatah obat yang selama ini diberikan melalui Prolanis akan dihentikan. Ini aturan baru dari BPJS Kesehatan.”
Berita itu bagai petir di siang bolong. Pak Herman merasa tubuhnya melemah. Selama ini, ia merasa aman dan nyaman berobat ke Dr. Rina. Semua kebutuhan obat diabetes dan hipertensinya terpenuhi dengan baik. Kini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa jika ia ingin berobat ke dokter spesialis, ia harus rela kehilangan akses obat dari Prolanis
Hari itu, Pak Herman memutuskan untuk meminta rujukan ke rumah sakit. Ia merasa butuh pemeriksaan lebih mendalam untuk memastikan kondisinya. Bersama Bu Siti dan beberapa pasien Prolanis lainnya, ia pergi ke rumah sakit rujukan di kota. Perjalanan panjang menggunakan angkutan umum membuat mereka kelelahan.
Sesampainya di rumah sakit, mereka harus antri berjam-jam untuk bertemu dengan dokter spesialis. Setelah melalui proses yang melelahkan, Pak Herman akhirnya bertemu dengan Dr. Anton, dokter spesialis yang bertugas.
“Dokter, saya ingin memastikan bahwa obat yang biasa saya dapatkan dari Prolanis bisa tetap saya konsumsi. Obat itu sangat membantu mengendalikan diabetes dan hipertensi saya,” kata Pak Herman.
Dr. Anton mengangguk sambil memeriksa rekam medis Pak Herman. Ia kemudian memberikan resep obat yang seharusnya bisa diambil di apotek rumah sakit. Namun, ketika Pak Herman pergi ke apotek untuk mengambil obat, masalah baru muncul.
“Maaf, Pak Herman,” kata petugas apotek rumah sakit dengan nada kaku. “Obat yang diresepkan dokter spesialis tidak mencakup obat yang biasa diberikan melalui Prolanis. Kami hanya bisa memberikan obat sesuai dengan resep spesialis.”
Pak Herman tertegun. Ia telah menjalani perjalanan panjang dan melelahkan, menunggu lama, dan akhirnya tidak mendapatkan obat yang selama ini ia konsumsi. “Lalu, apa gunanya saya berobat ke sini jika obat yang saya butuhkan tidak diberikan?” tanyanya dengan nada putus asa.
Petugas apotek hanya menggeleng. “Ini sudah sesuai aturan, Pak.”
Pak Herman pulang dengan tangan hampa dan hati yang penuh kekecewaan. Di perjalanan, ia hanya bisa berdiam diri, terlalu letih untuk mengeluh. Di rumah, Pak Herman duduk di kursi kayu tua di beranda. Ia menatap kosong ke arah jalan desa yang sepi.
“Apakah ini yang disebut jaminan kesehatan?” gumamnya dengan getir.
Pak Herman adalah satu dari ribuan peserta BPJS Kesehatan yang menghadapi realita pahit di balik janji layanan kesehatan yang dijanjikan. Mereka telah memenuhi kewajiban membayar iuran, namun kesulitan mendapatkan haknya. Program yang seharusnya menjadi solusi justru menambah beban mereka.
Di Desa Harapan, pagi terus datang, membawa embun yang menyejukkan. Namun, bagi Pak Herman dan banyak orang lainnya, embun itu tidak lagi memberikan rasa damai. Yang tersisa hanyalah luka di balik janji yang tak pernah benar-benar ditepati.