KOWAPPI Hormati Keputusan MK dan Segera Lapor ke Dewan Pers
JAKARTA[Berlianmedia] – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 harus dihormati dan dilaksanakan oleh seluruh insan pers Indonesia.
Fungsi Dewan Pers sebagai fasilitator bagi organisasi-organisasi pers sudah ditegaskan oleh putusan MK dan perlu ditanggapi positif organisasi-organisasi pers di Indonesia.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (DPP KOWAPPI) Hans Kawengian mengatakan putusan MK harus dihormati dan insan pers tunduk pada keputusan tersebut
“Kami menghormati putusan MK dan tunduk pada keputusan tersebut. Untuk itu kami akan segera membuat laporan perkembangan organisasi KOWAPPI kepada Dewan Pers,” ujar Hans melalui siaran pers, Jumat (16/9).
Hans merupakan salah satu wartawan pelaku sejarah pemberian penguatan peran Dewan Pers pada 2006 lalu bersama dengan puluhan organisasi pers.
Dengan adanya putusan MK tersebut, dia berharap Dewan Pers akan menjalankan fungsinya sesuai ketentuan UU Pers yang berlaku. Dalam pertimbangan hukum MK yang tercantum dalam putusan, Majelis Hakim menyebutkan, maksud dari ‘memfasilitasi’ adalah menegaskan bahwa Dewan Pers hanya menyelenggarakan tanpa ikut menentukan isi dari peraturan di bidang pers tersebut.
Fungsi “memfasilitasi” tersebut menurut Mahkamah telah sejalan dengan semangat independensi dan kemandirian organisasi pers.
Hans menambahkan tentang Istilah konstituen yang tercantum dalam dokumen Penguatan Peran Dewan Pers oleh organisasi-organisasi pers pada 2006, yang kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Dewan Pers disebutkan, “Konstituen Dewan Pers mencakup wilayah kerja Dewan Pers, yaitu Media Pers, baik cetak maupun elektronik, yang memuat atau menyiarkan karya jurnalistik.”
Selaku pelaku sejarah pers, menurut Hans, pihaknya terpaksa ikut mengajukan uji materiil di MK karena merasa organisasinya sempat diperlakukan tidak wajar oleh oknum-oknum (mantan) pengurus Dewan Pers di masa lalu.
“Kami ini mengalami kondisi yang kata pepatah, ‘habis manis sepah dibuang,” tutur Hans.
Dia menuturkan, kesepakatan bersama organisasi-organisasi pers membuat Penguatan Peran Dewan Pers dan menetapkan Standar Organisasi Wartawan, ketika itu pada 2006, bertujuan agar seluruh organisasi pers harus berusaha mencapai idealisme standar organisasi yang disepakati tersebut.
“Namun sangat disayangkan, pada saat itu para mantan anggota Dewan Pers justru menggunakan kesepakatan bersama itu untuk menendang sebagian besar organisasi-organisasi pers dari keterdaftaran di Dewan Pers dengan dalih peraturan dan keputusan tentang konstituen Dewan Pers, dan kemudian hanya menyisahkan 7 organisasi pers,” ujarnya.
Menurutnya, penerapan peraturan tentang konstituen Dewan Pers itu, bukan merupakan ketetapan bersama 34 organisasi pers ketika itu, sehingga sangat disesalkan, Standar Organsasi Wartawan yang dijadikan Peraturan Dewan Pers telah dijadikan alat untuk menghilangkan kewenangan 27 organisasi pers untuk mengajukan calon anggota Dewan Pers dan hak memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers.
“Saat ini sudah ada puluhan organisasi pers berbadan hukum yang berdiri di berbagai provinsi se-Indonesia. Ini harusnya ikut difasilitasi oleh Dewan Pers,” tutur Hans.
Setelah KOWAPPI membuat laporan keberadaan organisasi ke Dewan Pers, pihaknya berharap Dewan Pers melakukan pendampingan agar KOWAPPI bisa mencapai Standar Organisasi Wartawan yang sudah diputuskan bersama.
“Kami waktu menyusun dan menetapkan Standar Organisasi Wartawan, sangat menyadari keberadaan organisasi pers ketika itu belum berada pada standar ideal tersebut, sehingga ketika standar tersebut diputuskan bersama, maka ada target ideal yang harus dicapai oleh seluruh organisasi pers,” ujarnya.
Bukan setelah itu ditetapkan, lanjutnya, organisasi-organisasi pers yang belum berstandar ideal tersebut dibuang dan dilupakan sebagai pelaku sejarah.
Namun demikian, Hans meyakini, pengurus atau Anggota Dewan Pers yang ada sekarang bisa berbesar hati melaksanakan keputusan MK untuk tidak lagi menerapkan peraturan di bidang pers yang tidak ditentukan atau disusun oleh puluhan organisasi-organisasi pers yang merupakan bagian dari sejarah.
Presiden RI, tutur Hans, sudah mengutarakan hal itu saat memberikan keterangan tertulis di MK.
“Selain dari segi dasar hukum atribusi dan nomenklatur Dewan Pers yang diberikan UU Pers, untuk menentukan penetapan oleh Presiden terhadap Anggota Dewan Pers yang sah dapat dilihat juga dari aspek historis, kontinuitas, dan, konsitensi yang menjadi kebiasan,” ujarnya mengutip keterangan Presiden RI selaku pemerintah pada sidang di MK untuk perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021.
Bahkan DPR-RI, tidak kalah lengkap mengungkap sejarah terbentuknya Dewan Pers pada Tahun 2.000.
Dalam keterangannya, DPR RI menyebutkan sampai dengan 10 Februari 2020 (terjadi kesalahan penulisan tahun oleh MK, seharusnya tahun 2000) terdapat 40 organisasi yang ikut dalam pemilihan anggota Dewan Pers pertama, terdiri dari 33 organisasi wartawan dan 7 organisasi perusahaan Pers terjaring 121 nama calon anggota Dewan Pers.
“Keanggotaan Dewan Pers periode saat ini (2019-2022) merupakan keberlanjutan dari keanggotaan Dewan Pers sebelumnya, bahkan keberlanjutan dari Dewan Pers periode 2000 – 2003 (Dewan Pers periode pertama yang dibentuk segera setelah pengesahan dan pengundangan UU Pers),”tutur Hans, mengutip keterangan pihak DPR RI yang tercantum dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim MK dalam mengambil keputusan.
Akibat peraturan sepihak yang dibuat oknum-oknum pengurus Dewan Pers di masa lalu tentang konstituen mengakibatkan puluhan organisasi kehilangan hak sebagaimana diatur UU Pers.
“Semoga Dewan Pers yang ada sekarang menjadi pengayom dan pembina masyarakat pers, termasuk kepada KOWAPPI,” tuturnya. (rs)