JANGAN MENUNDA SEDEKAH

SEMARANG [Berlianmedia] – Di sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah seorang pria bernama Pak Darma. Ia dikenal sebagai orang yang sederhana dan pekerja keras. Setiap hari, Pak Darma bekerja di sawah miliknya yang kecil. Hasil panennya sering pas-pasan, cukup untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.

Namun, meskipun kehidupannya sederhana, Pak Darma adalah orang yang sangat taat beragama. Ia rajin sholat, selalu menjaga perkataannya, dan berusaha menjadi pribadi yang baik. Tetapi ada satu hal yang selama ini ia abaikan: bersedekah.

Pak Darma sering berpikir bahwa ia terlalu miskin untuk bersedekah. “Bagaimana aku bisa memberi sedekah? Untuk makan saja aku harus berhemat,” gumamnya setiap kali ada ceramah di masjid tentang pentingnya berbagi. Dalam hatinya, ia selalu merasa bahwa bersedekah adalah tugas orang kaya.

Pada suatu sore yang cerah, Pak Darma bertemu dengan seorang pria tua bernama Pak Soleh. Pak Soleh adalah pedagang keliling yang terkenal dermawan. Ia sering membantu orang-orang yang kesusahan meskipun hidupnya sendiri tidak berlebih.

“Pak Darma,” kata Pak Soleh suatu hari, “kenapa jarang terlihat ikut sedekah di masjid?”

Pak Darma tersenyum malu. “Ah, Pak Soleh, hidup saya pas-pasan. Kalau saya sedekah, nanti keluarga saya makan apa?”

Pak Soleh tertawa kecil. “Pak Darma, sedekah itu bukan soal jumlah. Allah tidak menilai seberapa banyak yang kita beri, tapi seberapa ikhlas kita memberinya. Bahkan sedekah saat kita kekurangan itu jauh lebih besar pahalanya.”

Pak Darma terdiam mendengar kata-kata itu. Ia merasa hatinya tersentuh, tapi keraguan tetap ada.

“Bayangkan, Pak Darma,” lanjut Pak Soleh, “jika besok ajal menjemput, apa yang bisa kita bawa? Bukan harta, bukan sawah, tapi amal kita. Sedekah bisa jadi bekal yang menyelamatkan kita di akhirat.”

Malam itu, Pak Darma tidak bisa tidur. Kata-kata Pak Soleh terus terngiang di telinganya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mencoba. Esok paginya, ia mengambil segenggam beras dari dapurnya.

“Beras ini akan aku sedekahkan,” pikirnya. Tapi saat ia hendak membawanya ke masjid, istrinya berkata, “Pak, beras kita sudah hampir habis. Kalau ini disedekahkan, kita makan apa besok?”

Pak Darma bimbang. Namun, ia teringat ucapan Pak Soleh tentang keikhlasan. Dengan suara pelan, ia berkata, “Allah pasti cukupkan rezeki kita. Aku yakin ini jalan yang benar.”

Dengan langkah mantap, Pak Darma pergi ke masjid dan menyerahkan segenggam beras itu ke kotak sedekah. Hatinya terasa lega meskipun ia masih khawatir tentang hari esok.

Keesokan harinya, seorang tetangga yang jarang berinteraksi dengan Pak Darma datang ke rumahnya. Ia membawa sekarung beras.

“Pak Darma, ini ada sedikit rezeki lebih. Saya pikir Bapak mungkin membutuhkannya,” kata tetangganya.

Pak Darma terkejut. “Kenapa tiba-tiba memberikan ini kepada saya?”

Tetangganya tersenyum. “Entahlah, tadi pagi saya merasa ada dorongan untuk berbagi dengan Bapak. Semoga bermanfaat.”

Air mata menggenang di mata Pak Darma. Ia teringat segenggam beras yang ia sedekahkan kemarin. “Masya Allah,” bisiknya, “benar kata Pak Soleh, sedekah tidak pernah membuat kita miskin.”

Sejak hari itu, Pak Darma mulai rutin bersedekah. Ia tidak lagi memikirkan jumlahnya, tapi selalu berusaha memberi sesuatu, entah itu makanan, tenaga, atau sekadar senyuman.

Di desa itu, Pak Darma mulai dikenal sebagai orang yang dermawan. Ia tidak pernah menunggu kaya untuk berbagi. Bahkan, dalam kekurangannya, ia selalu menyisihkan sesuatu untuk orang lain.

Pak Soleh, yang menyaksikan perubahan itu, merasa bangga. “Lihatlah, Pak Darma,” katanya suatu hari, “hidup kita mungkin sederhana, tapi dengan sedekah, hati kita menjadi kaya.”

Tahun-tahun berlalu, dan Pak Darma semakin yakin bahwa sedekah adalah salah satu amal terbaik. Ia sering mengingatkan orang-orang di desanya untuk tidak menunda berbuat kebaikan.

“Jangan menunggu kaya untuk bersedekah,” katanya suatu hari di pengajian desa, “karena kita tidak tahu kapan ajal akan datang. Sedekah yang ikhlas, meskipun kecil, bisa menjadi bekal kita di akhirat.”

Hidup Pak Darma mungkin tidak berlimpah harta, tapi ia merasa tenang dan bahagia. Ia tahu bahwa setiap sedekah yang ia berikan adalah investasi yang abadi.

Cerita Pak Darma mengajarkan kita untuk tidak menunda-nunda bersedekah. Keikhlasan dan keyakinan kepada Allah adalah kunci utama. Karena, seperti sabda Rasulullah SAW, janganlah kita menunggu hingga ajal tiba untuk berbuat kebaikan. Mungkin sedekah kecil kita hari ini bisa menjadi penyelamat di hari akhir. (Dwi Taufan Hidayat)

Mari Berbagi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *