Jaga Toleransi dalam Pendekatan Politik Menjelang Pilkada 2024
SEMARANG[Berlianmedia] – Dari rangkaian pemilihan kepala daerah yang pernah digelar selama ini dan yang akan digelar serentak pada tanggal 27 November tahun 2024, ada problematika pemilu yang belum dapat dipecahkan secara memuaskan yaitu soal Politik SARA dan isu SARA yang selalu dijadikan alat perang dalam Pemilihan Kepala Daerah.
Disamping juga problematika lainnya berupa pemutakhiran daftar pemilih, sistem keadilan pemilu, akuntabilitas penyelenggaraan, serta integritas proses dan hasil pilkada.
Keberhasilan atau kegagalan pilkada, ditentukan oleh banyak faktor dan aktor. Oleh karena itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki peran penting dan menjadi aktor yang mensinergikan seluruh potensi dalam mewujudkan pemilu yang demokratis dan bermartabat.
Proses penyelenggaraan pilkada, khususnya pengawasan, melibatkan seluruh elemen, baik dari unsur masyarakat maupun pemangku kepentingan, yang dilaksanakan secara transparan, akuntabel, kredibel, dan partisipatif, serta diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan di semua tahapan pilkada.
Fungsi Pengawasan dalam Pemilihan Kepala Daerah juga melibatkan kekuatan masyarakat termasuk ormas-ormas untuk dapat terwujudnya tujuan pilkada yang sesungguhnya.
Dari pelaksanaan pilkada yang telah berjalan selama ini, faktor-faktor subyektif memiliki peran signifikan dalam dinamika demokrasi elektoral.
Faktor subyektif ini adalah menyangkut aspek keaktoran politik, dengan latar keadaan masing-masing daerah, agama, kepentingan ras dan suku bangsa, keragaman budaya, serta corak multikulturalisme.
Faktor obyektif juga memiliki sumbangan besar dalam pembentukan demokrasi elektoral selama ini, yakni keadaan iklim yang sewaktu-waktu berubah; keadaan geografis dari wilayah yang terpisahkan di antara pulau besar, sedang, dan kecil serta posisi terpencil atau terluarnya letak wilayah dari pusat-pusat pertumbuhan; ataupun faktor demografis dengan keadaan yang tidak mudah untuk disatukan dalam satu komitmen untuk membangun dan membentuk demokrasi elektoral.
Dalam pengalaman perjalanan waktu bahwa penggunaan isu SARA dalam pilkada, serta mengetahui perkiraan langkah-langkah yang akan dilakukan para aktor kunci untuk mengatasi politisasi isu SARA di daerahnya perlu dikupas secara tuntas.
Persoalan pemeluk Agama Mayoritas dan minoritas dapat dijadikan sebagai propaganda politik dalam pilkada; misal ada calon dari Agama yang minoritas di daerah tertentu atau calon dari pemeluk agama yang mayoritas di daerah tertentu juga bisa dijadikan sebagai propaganda politik.
Bagi yang merasa dari calon Mayoritas ; ada penggiringan opini bahwa pemeluk agama mayoritas harus bisa memimpin daerahnya, sedangkan dari kalangan calon yang dari pemeluk agama minoritas juga membangun opini bahwa faktor agama tida berpengeruh dan mempermasalahkan terhadap pilihan masyarakat dari pemeluk agama yang berbeda.
Polarisasi politik atas nama agama ini sangatlah meruncing dan masif di masyarakat , maka diperlukan bangunan politik yang dewasa dan cerdas bagi masyarakat.
Sebagaimana contoh di daerah wilayah terbesar di Pulau Sumatera, Sumatera Utara memiliki posisi strategis dalamkonteks politik. Sumatera Utara memiliki keragaman agama, suku, agama, dan antargolongan.
Suku yang dominan di Sumatera Utara adalah Batak, Melayu, Karo, Nias, dan Jawa. Agama yang ada di Indonesia, semua terdapat di Sumatera Utara.
Islam adalah agama mayoritas yang dianut oleh penduduk Sumatera Utara, namun penganut agama Kristen Protestan juga sangat besar di Sumatera Utara.
Sedangkan keberagaman golongan tercermin dari maraknya organisasi massa, partai politik, dan kelompok kelompok organisasi sipil lainnya.
Berdasarkan zona wilayah, Sumatera Utara dapat dikelompokkan setidaknya menjadi tiga bagian, yakni bagian utara dengan penduduk mayoritas beragama Kristen, penduduk di bagian selatan yang mayoritas beragama Islam, dan di bagian tengah Sumatera Utara yang sangat heterogen namun Islam masih menempati posisi tertinggi.
Penyebab terjadinya politik SARA itu setidaknya ada empat hal. Pertama, faktor pendidikan politik di masyarakat yang rendah. Kedua, framing media massa yang gencar menyuarakan politik SARA. Ketiga, faktor aktor politik yang sengaja menggunakan isu SARA sebagai komoditas politik.
Keempat, hal itu didukung oleh realitas kesenjangan mayoritas dan minoritas yang tinggi. Faktor pendidikan politik dapat dimaknai sebagai upaya memberikan informasi politik yang berkualitas dan cerdas kepada masyarakat.
Idealnya masyarakat dikenalkan dengan debat visi, misi, dan program serta riwayat rekam jejak aktor politik. Dengan demikian masyarakat akan memiliki preferensi tentang calon-calon yang benar-benar dapat memberikan solusi transformatif atas persoalan yang dihadapi masyarakat.
Realitasnya pendidikan politik tidak diberikan dengan baik, Ironinya, Partai politik dan politisi yang mestinya memiliki tugas untuk memberikan pendidikan politik, tetapi pada kenyataanya mereka tidak enar-benar memberikan pendidikan politik.
Jawa Tengah merupakan daerah yang memiliki jumlah penduduk dan jumlah kabupaten/kota yang besar di Indonesia. Jawa Tengah juga memiliki keunikan dari sisi sosiologis masyarakatnya.
Kultur masyarakat Semarang, terdapat perbedaan dengan kultur Solo, begitupun dengan Blora, Cilacap, dan Tegal. Basis sosial keagamaan masyarakat Jawa Tengah juga berbeda. Namun secara umum penduduk Jawa Tengah adalah Muslim.
Jika dilihat dari sisi historis, penggolongan masyarakat yang dilakukan oleh Clifford Geertz tentang masyarakat abangan, santri, dan priyayi; menemukan ruang nyata di Jawa Tengah walaupun tentu ada pula priyayi yang santri atau priyayi yang abangan.
Peninggalan kerajaan berbasis Islam, Hindu, dan Budha masih sangat kental terasa di Jawa Tengah. Pengaruh tiga agama tersebut dapat terlihat dari kehidupan sosial masyarakat Jawa Tengah. Basis sosial tersebut juga terhubung dengan partai politik yang memiliki corak abangan dan nasionalis serta bercorak santri atau keagamaan.
NU dan Muhammadiyah menyadari bahwa peran ulama sangat berat dalam upaya memberikan edukasi politik yang baik. Kedua ormas ini telah membuktikan bagaimana perannya dalam memberikan pencerahan di masyarakat.
Muhammadiyah dengan sekolah sekolah, pengajian rutin, pertemuan formal, berupaya memberikan pemahaman yang baik tentang politik dan NU dengan tegas memperjuangkan Islam moderat Ahli Sunnah wal Jamaah, modal kultural NU seperti pesantren, dan tentu para kiai , dimanfaatkan untuk melakukan komunikasi positif antara jamaah dan ulamanya.
Adanya dari kelompok yang tidak berafiliasi dengan dua ormas tersebut. Kelompok-kelompok itulah yang mudah disusupi dengan paham Islam fundamentalis dan radikal.
Politik SARA menjadi sangat masif dan menyebar ke ruang publik karena diproduksi dan dikapitalisasi oleh elite politik seperti konsultan politik, anggota partai politik, tim sukses, dan elite ormas tertentu sehingga memberikan dampak ketegangan sosial di masyarakat.
Kemajuan teknologi berupa media sosial, media elektronik turut menopang masifnya politik SARA.
Atas kondisi tersebut, maka perlu adanya penguatan saran dan rekomendasi yang muncul adalah sebagai berikut :
- Penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu/Panwaslu dituntut lebih tanggap dalam mengatur aturan permainan (rule of the game) pemilu.
- Bawaslu diberikan kewenangan yang lebih rigid dan jelas untuk menindak pelanggaran pemilu yang berhubungan dengan SARA dengan melibatkan kekuatan masyarakat.
- Bawaslu secara khusus diminta melakukan terobosan hukum agar menyiapkan payung hukum sehingga politik SARA tidak lagi merebak pada agenda kontestasi politik berikutnya.
- Penguatan undang-undang penyiaran diperlukan untuk menguatkan fungsi KPI dan KPID dalam mengawasi keberlangsungan media di Indonesia. Selain itu KPI dan KPID didorong untuk melakukan pendidikan literasi yang baik.
- Penyelenggara pemilu diminta untuk mengkonsolidasikan komunitas media alternatif seperti para blogger untuk melakukan counter terhadap politisasi isu SARA yang berkembang di tengah kehidupan politik masyarakat.
- Inisiasi banyak pihak untuk melakukan agenda strategis seperti dialog, koordinasi, dan enyadaran untuk berneg- ara dan berbangsa sesuai dasar Pancasila dan UUD 1945 di semua basis masyarakat sangat diperlukan.
- Peran ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah, di samping ormas keagamaan dan ormas sosial lain, sangat diperlukan untuk menyuburkan cara beragama dan cara bersosialisasi di tengah masyarakat dengan mengedepankan komunikasi dan sikap yang tasamuh, moderat, dan inklusif sebagai manifestasi perwujudan cita-cita luhur bangsa.
- Partai politik diminta untuk melakukan pendidikan politik yang baik sehingga terjadi realitas politik yang santun dan berkeadaban.
- Perlu upaya mengawasi kinerja tim ahli konsultan politik serta lembaga survei agar terbangun kebijakan politik yang menumbuhkan rasa kemanusiaan yang tinggi di tengah masyarakat.
Semoga dengan catatan ini Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada ) tahun 2024 tidak terjebak pada politik SARA ; tetapi mengedepankan pada politik etik, mora,keadaban.
Oleh :
Dr H AM Jumai SE.MM Tenaga Ahli Pemkot Semarang Bidang Kemasyarakatan dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Semarang