Anggota DPD RI Casytha Prihatin Dampak Pragmatisme Masyarakat Biaya Politik Jadi Makin Mahal

SEMARANG [Berlianmedia]- Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan bagian dari budaya negara demokrasi, namun pragmatisme masyarakat dalam memandang politik berdampak pada biaya politik menjadi semakin mahal.

Hal itu menjadi keprihatinan tersendiri bagi Casytha Arriwi Kathmandu, SE, M.Fin usai Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan bersama DPD KNPI Kota Semarang di Waroeng Kaligarong, Semarang Tengah, Kota Semarang, Minggu siang (19/5).

Kendati demikian, Senator muda perwakilan dari Jawa Tengah ini menilai, persoalan tersebut menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi para pemuda sebagai generasi penerus bangsa.

“Jadi sekarang ini anak-anak muda itu porsinya kan bisa dibilang paling banyak untuk terlibat secara aktif di politik, baik itu sebagai pemilih atau sekaligus sebagai peserta pemilu. Sementara mereka masuk di saat cost politic-nya sangat tinggi, ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi kita semua, ya kan,” ucapnya.

“Mungkin dengan aktif berorganisasi ini kita bisa memberikan masukan, mengedukasi kepada masyarakat agar lebih menekankan pada kualitas caleg. Kesadaran ini yang harus dibawa ke anak-anak muda itu untuk lebih memperhatikan kualitas atau kapasitas caleg itu apakah mampu membawa tatanan masyarakat menjadi lebih baik, dari apa yang dibawa oleh caleg itu. Dalam hal ini money politics atau yang lainnya,” jelasnya.

Menurutnya, lingkungan yang pragmatis memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pola berpikir generasi muda terhadap politik. Di sisi lain, ia juga menilai kebijakan pemerintah ikut memberikan pengaruh yang sama.

“Karena memang desain sistem dari atasnya memang seperti itu. Kebijakannya juga, kalau boleh jujur saya juga salah satu orang yang kurang sepakat dengan adanya BLT, karena BLT itu mengakibatkan masyarakat lebih banyak mengandalkan bantuan. Jadi masyarakat itu ketergantungannya tinggi kepada negara,” paparnya.

Terkait peran pemerintah dalam menangani persoalan sosial dan ekonomi, Casytha mengaku lebih memilih bantuan yang bersifat stimulan agar masyarakat berupaya mandiri. Berbeda dengan BLT yang ia nilai membuat luntur mindset masyarakat untuk giat bekerja  karena orientasi berpikirnya bukan bekerja keras, melainkan mendapat uang dengan mudah.

“Kalau saya lebih memilih padat karya. Kita diberi bantuan pekerjaan. Nantinya diakhir pekerjaan akan mendapatkan upah atas pekerjaan itu. Stimulan, ada ujungnya bahwa dia itu mandiri. Jadi jiwa masyarakat untuk bekerja itu masih ada. Tapi kalau BLT kan tidak. Nah, akhirnya membuat mindset seseorang mendapat uang dengan mudah,” urainya.

Mari Berbagi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *