Analisa Perbandingan Format Gerakan Mahasiswa : Orde Baru, Reformasi dan Pasca Reformasi
YOGJAKARTA [Berlianmedia] – Gerakan pemuda dan mahasiswa di Indonesia memiliki peran historis yang tak tergantikan dalam perubahan politik dan sosial. Sedari zaman pra kemerdekaan hingga orde lama lalu era Orde Baru hingga Pasca-Reformasi, mereka bertransformasi dalam format gerakan politik, intelektual, dan moral atau ekstra-parlementer.
Setiap era membawa tantangan dan karakteristik unik yang memengaruhi strategi dan keberhasilan gerakan tersebut. tulisan ini bertujuan untuk membandingkan format gerakan mahasiswa di era Orde Baru (1966–1998), Era Reformasi (1998-2004) dan era Pasca-Reformasi (1998–2024), dengan fokus pada dinamika politik, intelektual, dan moral, serta mengeksplorasi tantangan khusus yang dihadapi mahasiswa di setiap periode.
Artikel ini juga akan menawarkan rekomendasi format gerakan ideal yang dapat mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah gerakan dari masa pra-kemerdekaan dan Orde Lama, tentu tidaklah seutuhnya sempurna dalam mengunakan kerangka tersebut melainkan akan tetap didealiktikakan dengan kondisi hari ini agar pikiran ini mendapatkan relevansi terhadap kehendak zaman dan tidak menafikan keberadaan Pemuda dan Mahasiswa sebagai bagian kekuatan utama control negara dan bersama-sama mnegisi kemerdekaan dari berbagai bidang.
Gerakan Pemuda dan Mahasiswa di Era Orde Baru (1966–1998)
Gerakan Politik Pemuda dan Mahasiswa di era Orde Baru Menurut Daniel Dhakidae dalam bukunya yang berjudul The State, Democracy, and Globalization in Indonesia (2003) memainkan peran oposisi terhadap kebijakan otoritarian pemerintah.
Demonstrasi besar seperti Peristiwa Malari (1974) menentang dominasi modal asing dan kebijakan ekonomi yang dianggap merugikan rakyat. Pada akhir 1990-an, gerakan mahasiswa menjadi katalis utama dalam menggulingkan Soeharto melalui Reformasi 1998. Namun, tekanan represif dari militer dan polisi sering kali menempatkan aktivis dalam situasi yang berbahaya.
Gerakan politik Pemuda ataupun Mahasiswa bisanya terletak pada pucuk kekemimpinan, kala itu kecendrungan pimpinan organisasi untuk berkolaborasi sangatlah kuat tentu hal ini didorong dengan fakta lapangan.
Gerakan Intelektual Sebagaimana dijelaskan oleh Benedict Anderson dalam Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990), mahasiswa di era ini aktif dalam diskusi intelektual yang mengkritisi kebijakan pembangunanisme dan militerisme.
Kelompok diskusi mahasiswa menjadi wadah pembentukan kesadaran kritis, sementara publikasi independen seperti buletin kampus dan jurnal alternatif menyuarakan kritik terhadap pemerintah secara masif dan mampu mempropaganda publik lebih-lebih faktual dengan keadaan yang dialami bangsa kala itu, ada pepatah yang mengatakan bahwa kedigadayan seorang aktivis ada pada tulisan dan diplomasinya.
Aktivis Pra Kemerdekaan hingga orde baru tidak terlampau berbeda dalam tradisi mengawal negara, selain daripada menulis sebagai upaya membangun kesadaran nasional, model gerakan intelektual juga cendrung bergerak mengunakan data, hasil riset, nah biasanya mereka sebelum melakukan aksi jalanan atau ekstra parlmenen cendrung membuka ruang audiensi atau tabayun gagasan teradap pihak terkait baik itu Bupati, Gubernur, Mentri atau Presiden dan juga sebaliknya DPR.
Gerakan Moral atau Ekstra-Parlementer John Roosa dalam Pretext for Mass Murder (2006) mencatat bahwa gerakan moral mahasiswa sering kali diwujudkan melalui aksi damai, seperti demonstrasi simbolis, mogok makan, dan teatrikal. Aksi ini tidak hanya menarik perhatian publik tetapi juga menegaskan posisi mahasiswa sebagai penjaga moralitas bangsa di tengah otoritarianisme yang merajalela.
Gerakan jalanan merupakan puncak dari dari gerakan politik dan intelektual, mana kala dua metode tersebut maka gerakan moral-lah yang kerap menjadi metode handal untuk membuka dialog dengan pihak terkait. Akan berjalan dengan damai atau tidak damai tergantung pokok-pokok masalah bangsa yang dihadapi.
Gerakan Pemuda dan Mahasiswa di Era Reformasi (1998–2004)
Gerakan Politik Edward Aspinall dalam Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia (2005) menyebut bahwa gerakan mahasiswa pada era Reformasi berhasil mendesak pembubaran Dwifungsi ABRI dan mendorong reformasi institusional.
Demonstrasi besar pada 1998 menggulingkan Soeharto dan membuka jalan bagi demokrasi. Namun, fragmentasi internal mulai menjadi tantangan utama, mengurangi efektivitas gerakan mereka. Kala itu para reformator yang menjadi kaki-kaki demokrasi melawan otoritarianisme memang seharusnya mengambil bagian dari panggung perpolitikan nasional namun fakta tersebut tidak berbanding lurus dengan kenyataan, hanya segelintir orang saja yang mampu menduduki posisi penting dalam partai politik, sehingga fragmentasi politik ini tidak terjadi secara merata menjadi kekuatan tersendiri untuk melakukan pengawalan terkait tuntutan utama reformasi dulu dan sekarang.
Gerakan Intelektual Jeffrey A. Winters dalam Oligarchy (2011) mencatat bahwa gerakan intelektual mahasiswa pasca-Reformasi berupaya mengkritisi oligarki yang muncul. Namun, intensitas diskusi kritis mulai menurun, tergantikan oleh pragmatisme politik di kalangan mahasiswa. Publikasi independen dan diskusi kampus tetap menjadi medium penting, tetapi kurang mampu menciptakan dampak yang sama seperti di era sebelumnya. Gerakan Moral dan Ekstra-Parlementer Sidney Jones dalam berbagai laporannya untuk International Crisis Group mencatat bahwa mahasiswa terus mengadvokasi isu-isu HAM, seperti kasus Tragedi Trisakti dan konflik di Aceh. Demonstrasi dan aksi simbolis tetap menjadi alat utama, tetapi sering kali kurang menghasilkan perubahan konkret.
Hal ini menunjukkan perlunya strategi baru yang lebih efektif.
Gerakan Pemuda dan Mahasiswa di Era Pasca-Reformasi (2004–2024)
Gerakan Politik Dalam Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (2019), Edward Aspinall menyoroti perubahan format gerakan politik mahasiswa di era Pasca-Reformasi. Demonstrasi besar seperti “Reformasi Dikorupsi” (2019) menunjukkan bahwa mahasiswa tetap mampu memobilisasi massa.
Namun, afiliasi organisasi mahasiswa dengan partai politik telah mengurangi independensi gerakan mereka. Fenomena ini mencerminkan pragmatisme politik yang berkembang, di mana banyak aktivis memilih untuk bergabung dengan struktur kekuasaan demi menjaga Status Quo.
Gerakan Intelektual Wijayanto dalam Digital Democracy: Media and Politics in Post-Reform Indonesia (2020) mencatat bahwa mahasiswa memanfaatkan media sosial sebagai alat baru untuk menyebarkan wacana intelektual. Namun, arus informasi yang cepat sering kali mengorbankan kedalaman diskusi.
Diskusi intelektual berbasis kampus semakin tergantikan oleh narasi singkat yang viral di media sosial, yang terkadang terfragmentasi dan kurang terarah.
Gerakan Moral atau Ekstra Parlementer atau panggung jalanan Marcus Mietzner dalam Authoritarianism and Democracy in Indonesia (2021) menyoroti bahwa mahasiswa tetap berperan dalam menyuarakan isu-isu moral seperti anti-korupsi, hak asasi manusia, dan lingkungan.
Namun, aksi moral mereka sering kali dianggap reaktif dan kurang memiliki dampak jangka panjang. Fragmentasi internal dan tekanan dari kelompok patronase politik juga menjadi hambatan besar dalam menjaga konsistensi gerakan ini.
Perbandingan Format Gerakan Pemuda dan Mahasiswa di Era Orde Baru, Reformasi, dan Pasca-Reformasi
Gerakan Politik
Orde Baru : Gerakan politik mahasiswa di era Orde Baru berorientasi pada oposisi total terhadap pemerintah otoriter.
Dengan tekanan represif dari militer dan polisi, mahasiswa tetap gigih menentang kebijakan pemerintah, terutama yang dianggap pro-modal asing dan tidak berpihak pada rakyat. Demonstrasi besar seperti Peristiwa Malari (1974) dan Reformasi 1998 menjadi bukti perlawanan mahasiswa yang solid, dengan tujuan utama penghapusan otoritarianisme.
Reformasi : Di era Reformasi, fokus utama gerakan politik mahasiswa adalah menuntut penghapusan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta mendesak perubahan struktur politik. Mobilisasi massa yang terorganisir pada 1998 berhasil menggulingkan Soeharto. Namun, pasca keberhasilan ini, gerakan mahasiswa mulai terfragmentasi, dengan beberapa aktivis memilih terlibat langsung dalam pemerintahan.
Pasca-Reformasi: Di era ini, gerakan politik mahasiswa cenderung lebih pragmatis. Banyak organisasi mahasiswa terafiliasi dengan partai politik, sehingga mengurangi independensi mereka. Demonstrasi besar seperti “Reformasi Dikorupsi” (2019) menunjukkan bahwa mahasiswa masih mampu memobilisasi massa, tetapi afiliasi politik sering kali menciptakan konflik kepentingan yang menghambat keberlanjutan gerakan.
Gerakan Intelektual
Orde Baru : Di bawah represi politik, gerakan intelektual mahasiswa berkembang melalui diskusi kelompok, publikasi kampus, dan seminar. Kritik terhadap pembangunanisme, militerisme, dan kebijakan ekonomi yang tidak adil menjadi tema utama.
Mahasiswa menggunakan ruang-ruang akademik sebagai basis untuk membangun kesadaran kritis.
Reformasi: Tradisi diskusi intelektual tetap kuat, dengan fokus pada transisi demokrasi dan penghapusan struktur Orde Baru. Buku, jurnal, dan media alternatif menjadi alat utama untuk menyebarkan gagasan.
Namun, intensitas diskusi mulai menurun seiring dengan euforia Reformasi dan keterlibatan langsung beberapa aktivis dalam pemerintahan.
Pasca-Reformasi: Di era digital, mahasiswa memanfaatkan media sosial sebagai platform utama untuk menyebarkan wacana. Diskusi intelektual lebih mudah diakses tetapi sering kali kehilangan kedalaman akibat narasi yang terfragmentasi dan terbatas pada format singkat yang viral.
Pergeseran ini mengurangi konsistensi dan kualitas kritik intelektual mahasiswa.
Gerakan Moral dan Ekstra-Parlementer
Orde Baru: Gerakan moral mahasiswa menonjol melalui aksi simbolis seperti mogok makan, demonstrasi damai, dan teatrikal. Strategi ini menekankan posisi mahasiswa sebagai penjaga moral bangsa di tengah represi politik. Solidaritas lintas generasi menjadi salah satu kekuatan utama dalam aksi-aksi ini.
Reformasi: Gerakan moral mahasiswa di era ini mengedepankan aksi damai yang masif, seperti mendirikan “kampus perjuangan” di luar gedung DPR/MPR. Aksi simbolis tetap relevan dan berhasil menarik perhatian publik, memperkuat legitimasi moral gerakan mahasiswa.
Pasca-Reformasi: Aksi moral mahasiswa cenderung sporadis dan reaktif terhadap isu-isu tertentu seperti korupsi, lingkungan, dan hak asasi manusia. Fragmentasi internal serta tekanan dari patronase politik menghambat konsistensi gerakan ini. Mahasiswa juga menghadapi tantangan dalam membangun solidaritas yang kokoh di tengah polarisasi politik.
Rekomendasi Format Gerakan Pemuda dan Mahasiswa
Untuk membangun gerakan pemuda dan mahasiswa yang ideal, kita dapat belajar dari pengalaman gerakan di masa pra-kemerdekaan dan Orde Lama, dengan memperhatikan hal-hal berikut:
Independensi Politik Gerakan mahasiswa harus menegaskan independensi mereka dari pengaruh partai politik.
Independensi ini memungkinkan mereka berperan sebagai kekuatan kritis yang obyektif, seperti yang dilakukan oleh organisasi pemuda di masa pra-kemerdekaan seperti Perhimpunan Indonesia dan kelompok mahasiswa pada Orde Lama yang mengkritik kebijakan pemerintah tanpa afiliasi langsung dengan kekuasaan. Sehingga mereka obyektif dan tanpa beban kendati terdapat senior-seniornya di partai tertentu, namun itu tidak akan mampu mengunah idealismenya, sebaliknya seniornya juga memahami bahwa proses ini adalah proses dealektika zaman yang harus dilalui generasi.
Gerakan mahasiswa pasca reformasi tampak malu-malu berpacaran dengan partai politik dan elite penguasa ini juga yang menjadi penguat pragmatisme politik mahasiswa semakin mengkristal, patut untuk dipikirkan apakah sebagaiknya gerakan mahasiswa kembali menjadi Underbow partai misalnya, GMNI akan kembali menjadi Sayap PDI Perjuangan, PMII akan kembali menjadi sayapnya PKB, IMM akan kembali menjadi Sayapnya Partai PAN, HMI akan kembali Ke golkar, dan seterusnya.
Langkah ini mengkonkritkan gerakan politik mahasiswa dan point pentingnya gerakan politik mahasiswa tidak diluar eksistensi kekuasaan politik melainkan berada didalam eksistensi politik kekuasaan, bahwa akan tetap menjadi pioner penggerak perubahan atau sebaliknya tak menjadi apa-apa hanya menjadi pelengkap nah itu tantangan yang harus diuraikan secara sistematis!
Penguatan Wacana Intelektual Gerakan mahasiswa perlu kembali ke akar intelektualnya dengan membangun diskusi yang mendalam dan terarah.
Penggunaan media digital harus diarahkan untuk mendukung penyebaran ide-ide kritis dan tidak sekadar menghasilkan narasi yang viral. Diskusi berbasis kampus, penerbitan jurnal, dan forum ilmiah perlu dihidupkan kembali untuk memperkuat basis intelektual gerakan, gerakan mahasiswa sudah seharusnya memulai mengkaji dan meneliti di semua kementrian yang ada, tersimulasi menjadi sebuah kajian faktual dan kritis dan tentu pihak terkait akan sedikit berpikir jika neko-neko sebab diawasi oleh gerakan intelektual mahasiswa tidak hanya KPK, melainkan peranan gerakan intelektual ini harus mampu menjadi ruang oposisi pemerintah baik dalam aspek esensialnya maupun dalam bentuk perwujudannya.
Pendekatan Moral yang Konsisten Seperti di masa Orde Baru, aksi moral mahasiswa harus dirancang dengan strategi jangka panjang. Pendekatan moral yang konsisten, berbasis nilai-nilai universal seperti keadilan dan kesetaraan, dapat membangun kembali kepercayaan publik terhadap gerakan mahasiswa. Strategi Non-Parlementer yang Berkelanjutan Gerakan mahasiswa harus mengembangkan strategi ekstra-parlementer yang lebih sistematis dan berkelanjutan. Belajar dari aksi-aksi simbolis pada masa Orde Baru, gerakan mahasiswa dapat menciptakan kampanye advokasi yang efektif untuk mengawal kebijakan publik.
Solidaritas dan Kolaborasi Lintas Generasi Gerakan mahasiswa harus belajar dari masa Orde Lama, di mana solidaritas lintas generasi memungkinkan terbentuknya gerakan yang kuat dan konsisten. Kolaborasi dengan tokoh masyarakat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil dapat memperluas dukungan dan memperkuat dampak gerakan.
Oleh : Bung Kafi
Penulis Alumni Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Aktivis NU, dan Juga
Kader Partai PDI Perjuangan.